Duhai ukhty, Benarkah Engkau Bersedia Untuk ‘Dipoligami’?

Monday, January 23, 2012

Bismillah.

~> Pengantar: 

Okelah kawan, kali ini kami akan kembali menuliskan sebuah kisah yang cukup membuat kami terkaget-kaget seolah tidak percaya ketika pertama kali mengetahuinya. Inilah sebuah kisah yang jauh panggang dari api, sebuah kisah yang bertolak belakang antara pelakunya dengan kisah yang seharusnya terjadi. Ya, antara pelakunya yang dikenal sebagai orang nan telah mengaji tapi malah menggores cerita yang sungguh menyedihkan hati. 

Entahlah, memang godaan dan tergoda adalah manusiawi, akan tetapi jika orang lain yang malah tercoreng arang di dahi karena ulah kita yang bobrok sekali tentulah hal ini sangat disayangkan, apalagi kalau sampai nyerempet-nyerempet kepada jilbab dan cadar yang dikenakan atau kepada celana yang dicingkrangkan atau pula kepada jenggot yang dipeliharakan atau malah kepada manhaj yang tengah diperjuangkan. 

Aduhai, betapa sering kita-kita yang telah mengaji ini berkoar-koar kepada teman-teman kita yang belum mengaji agar mereka dapat membedakan antara oknum dan metodologi, sehingga mereka tidak akan lari dari metodologi yang kita dakwahkan bilamana suatu masa mereka melihat ketidakberesan dari para oknum yang menisbatkan diri-diri mereka kepada metodologi yang dimaksud.   

Akan tetapi, apa iya mereka, teman-teman kita yang belum mengaji itu mengerti? Lalu, sejauh manakah kemengertian mereka dalam membedakan oknum dan metologi yang kita maksudkan? Bukankah kebanyakan mereka, karena ketidakmengertian mereka tersebut malah menilai metologi berdasarkan oknum, bukan sebaliknya? Lantas, jikalah ulah para oknum itu semakin begini dan begitu apakah mereka tetap akan bisa menilai metodologi secara objektif?   

Sekali lagi, karena ketidakmengertian mereka, ditambah karena banyaknya syubhat yang sampai kepada mereka sehubungan dengan metologi yang kita tempuhi ini, yaitu manhaj salaf yang mulia ini, maka menurut kami akan sulit sekali bagi mereka -kecuali bagi sebagian dari mereka yang dikehendaki Allah-  untuk berbaik sangka kepada kita yang telah mengaji pada umumnya dan kepada kita kaum salafiyyin pada khususnya. Allahu a’lam. 

*** 

Begini kawan semuanya, kisah kita kali ini tidak jauh-jauh dari kisah yang berhubungan dengan  fitnah lawan jenis, akan tetapi bukan fitnah lawan jenis di tempat-tempat pelacuran yang akan kita baca, bukan pula fitnah lawan jenis di diskotik-diskotik atau di dalam semak-semak belukar yang akan kaji, melainkan fitnah lawan jenis di dalam kotak-kotak masuk FB dan sejenisnya yang akan kita bedahi. 

Sudahlah kawan, kita telah tidak bisa lagi untuk menutup mata dari kasus pacaran terselubung di antara ‘sebagian kecil’ aktivis lembaga dakwah kampus semasa kita kuliah dahulu. Kita pula telah tidak bisa lagi untuk memungkiri ‘beberapa’ kasus ta’aruf tapi mesra diantara ikhwan dan akhwat yang tengah terserempet bisikan cinta asmara, bahkan kita pula telah tidak bisa lagi untuk mengelak dari kasus perselingkuhan seorang suami atau seorang istri dengan perempuan atau dengan laki-laki lain di dunia maya, padahal keduanya telah mengaji, bahkan telah mengaji di atas manhaj yang mulia. Sehingga berlakulah sebuah kaidah umum tidak resmi di kalangan teman-teman kita yang belum mengaji, “Halah, mereka yang telah mengaji saja seperti itu apalah lagi dengan kita-kita ini. Hae, mending seperti kita-kita ini sajalah kalau mau begituan.” Sungguh, komentar-komentar seperti ini pernah kami dengar dengan kedua telinga kami sendiri ketika seorang teman kami yang belum mengaji mengeluhkan tingkah salah seorang jilbaber yang ditemuinya kepada kami. Allahu ‘alam. 

Kemudian, sudahlah, kami telah cukup capek untuk menggugat para ikhwan, kami telah tidak sampai hati untuk mengata-ngatai mereka lagi seperti pada tulisan-tulisan kami yang terdahulu, Wahai Engkau Para Ikhwan, Maaf Kami Menggugat Kalian, karena toh sang ikhwan tidak akan ‘berani’ jika sang akhwat tidak pernah memberi lampu hijau, atau jika sang akhwat benar-benar berani dan tegas terhadap prinsip Islamnya, berani berpanas-panas untuk menggenggam bara api sampai kulit telapak tangannya melepuh karenanya, bahkan sampai kulit telapak tangannya mati rasa setelahnya. Insya Allah, jika telah demikian adanya maka kami yakin si ikhwan gadungan, si ikhwan dadakan, si ikhwan kagetan, si ikhwan iseng, atau si ikhwan beneran nan tengah kesabet setan sekalipun tidak akan berani menyibak rahasia demi rahasia di balik nomor HP kita, di balik akun FB kita, bahkan di balik jilbab dan cadar kita. 

Benar bahwa lelakilah yang memulai langkah pertama dalam lorong dosa, tetapi bila kita sebagai perempuan tidak setuju, maka laki-laki itu tidak akan berani, dan andaikata bukan lantaran ‘lemah gemulainya’ kita, maka keadaan laki-laki itu tidak akan bertambah parah. Kitalah yang membuka pintu, kita katakan kepada si pencuri itu: “Silakan masuk”, namun ketika ia telah mencuri, kitapun berteriak: “Maling! Tolong, tolong, saya kemalingan! (1) Ironis! 

Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ 

“Dan musibah apapun yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri”. (QS. Asy-Syura: 30)   

*** 

~> Inilah Kisah yang Kami Temui: 

Kisah berikut ini kami dapati pada kolom komentar saat kami mempublish tulisan kami, Engkau yang Kukira Kaca Ternyata Adalah Permata, yang kemudian komentar tersebut kami hapus sampai ia sedikit kami perbaiki dan kami publish sebagai tulisan tersendiri seperti yang ada di hadapan pembaca kali ini. Kami sedikit memperbaiki ‘curhatan’ pada salah satu kolom komentar tersebut karena ada beberapa hal yang harus kami jaga, namun kisah ini insya Allah tetap tidak kami tambahi atapun kami kurangi maksudnya sedikitpun. 

Beginilah kisahnya: 

Sungguh berbalik cerita dengan saya. Dahulu saya bersedia dinikahi oleh seorang laki-laki (suami saya saat ini) karena saya memandangnya sebagai laki-laki yang paham agama, dewasa, dermawan, sederhana, serta telah pula bermanhaj salaf, sehingga segunung harap saya sandarkan kepadanya yang kelak akan membimbing saya menjadi istri shalihah –insya Allah-. Namun, sungguh tak disangka justru pada masa-masa awal pernikahan kami, suami saya sibuk ber-SMS-an dengan mantan "teman dekatnya”, yaitu seorang akhwat  yang pernah akan di-khitbahnya tapi ia tak pernah memberi jawaban karena sebuah alasan. 

Setelah menikahi saya si akhwat malah memberikan lampu hijau bahwa ia begitu sedih dengan pernikahan suami saya, sehingga cinta suami saya mulai bergejolak lagi padanya, bahkan setiap hari tiada berlalu tanpa rongrongannya untuk menikahi wanita itu. Pujian-pujiannya pada wanita itu menusuk-nusuk jantung saya, betapa wanita malang itu adalah ‘anak yatim’ berumur 28 tahun, cantik, shalihah, ‘menjaga diri’, aktif berdakwah, dan lain-lain. Dan wanita itupun tanpa rasa malu sering meng-SMS suami saya setiap hampir tengah malam, sehingga sungguh seperti ada bara api yang memenuhi kamar kami kala itu.

Jiwa muda saya saat itu juga bergejolak. Semasa itu usia saya masih 21 tahun, dan saya jarang sekali mengikuti kajian karena suami saya malas mengantarkan saya ke masjid-masjid yang menyelenggarakan taklim. Ia pula tidak mengajarkan agama kepada saya, bahkan dia selalu merendahkan saya dan selalu membanding-bandingkan saya dengan wanita-wanita murahan yang tak punya rasa malu hanya karena mereka lebih cantik daripada saya sehingga hati saya menjadi keras dan penuh dendam serta rasa sakit hati atas tekanan-tekanan  yang diberikan suami saya.

Semua sudah berlalu, Alhamdulillah beberapa waktu kemudian wanita itu menikah dengan laki-laki lain, dan suami saya sangat terpukul karenanya. Dia duduk lemas sembari menelungkupkan wajahnya di atas meja, serta penuh emosi kepada laki-laki yang akan menikahi wanita kecintaannya itu.

Beberapa tahun kemudian, saya menemukan dalam FB suami saya ternyata dia meng-add wanita bersuami dan beranak yang gagal dinikahinyanya dahulu menjadi temannya di FB. Hal itu begitu menyulut emosi saya dan membuka luka-luka lama saya. 

Saya begitu marah dan mengungkapkan semua rasa sakit hati saya kepadanya, akan tetapi hal itu malah membuat ia bertambah marah kepada saya. Ia selalu membela diri dengan mengatakan bahwa apa-apa yang dilakukannya tidaklah seberapa dibandingkan dengan ulah laki-laki lain yang berpacaran dan berzina, sementara dia hanya meng-add wanita itu di dunia maya. Namun, bila keadaannya dibalikkan dia benar-benar takut kalau saya sampai bertemu dengan teman-teman laki-laki saya di masa lalu untuk kemudian merajut cinta dengan salah satu dari mereka, padahal sungguh  saya tidak pernah pacaran sama sekali. 

Dia marah dan memukuli saya, dan kembali menghina saya sampai seolah-olah saya adalah wanita yang benar-benar hina dan tak ada harganya. Tak ada kelebihan sediktpun yang ia lihat dari diri saya, padahal saya cukup pintar dan mempunyai banyak prestasi di masa-masa sekolah dahulu.  

Kemudian banyak pula yang mengira bahwa saya masih gadis ketika saya keluar rumah, dan malah  ada seorang laki-laki yang usianya 10 tahun lebih muda daripada saya mengungkapkan ketertarikannya kepada saya, walaupun saya dan laki-laki tersebut tak pernah bertegur sapa. Namun saya tetap menjaga diri saya untuk suami saya, meski apa jua perlakuan yang saya terima darinya.

Itupun sudah berlalu, hanya karena pertolongan Allah saya dapat kembali menapaki jejak salafusholih dan menemukan komunitas salafy di grup-grup FB, alhamdulillah. Kelemahan iman dan kelalaian saya telah membuat saya terpuruk atas ujian yang diberikan Allah kepada saya. Saya menyadari kesalahan saya yang menyandarkan cinta dan harapan saya pada suami. Saya berpikir bahwa saya mencintainya karena Allah, namun saya menggantungkan keimanan saya padanya. Saya salah, sungguh saya salah besar,  karena suami hanyalah hamba, ia hanyalah manusia yang tak luput dari salah dan dosa. 

Singkat cerita, semua masalah telah berlalu atas pertolongan Allah kepada saya, namun jujur jauh di dalam hati saya, saya belum bisa sepenuhnya menghapus luka di atas luka yang ditorehkan suami saya. Terkadang saya begitu bahagia, saya menjalani hidup dengan penuh ketenangan, akan tetapi di saat kenangan buruk itu mengusik pikiran saya, saya akan kembali gelisah, namun itu saya yakini karena kelemahan iman saya semata.
Semoga Allah menetapkan hati saya pada hidayah dan petunjuk-Nya, sehingga tak perlu lagi saya merasa resah atas kezholiman dan ketidak adilan manusia terhadap diri saya. 

Ummu Fulan. 

*** 

~>Biarkan Kami Sedikit ‘Mengata-Ngatai’

 Sebenarnya banyak sekali kisah-kisah serupa yang kami dapati sehubungan dengan hal ini, malah hanya beda-beda tipis dengan kisah si ummahat, teman kita di atas. Bahkan, ada seorang ikhwan yang lagi keblinger asyik berbalasan pesan di dunia maya, yaitu dengan seorang akhwat yang notabenenya juga telah mengaji di saat sang istri tengah hamil tua, di saat sang istri tengah kepayahan dalam mengurusi ‘buah karyanya’ di dalam perutnya yang kian hari kian membesar saja. Allahu alam. 

Okelah, sekali lagi kami katakan bahwa kami tidak akan membahas tentang si ikhwan, suami teman kita di atas, karena khawatir emosi kami tidak akan terkendali karenanya, sebab meski apa jua keadaan kami yang menuliskan tulisan ini adalah bagian dari kaum nan sama dengan si ummahat yang menjadi korban. Namun, yang hendak kami sorot di sini adalah ulah tak tahu malu dari si akhwat, tokoh ketiga kita dalam kisah di atas. Sungguh, sungguh kami pula ikut malu sebenarnya ketika menuliskan kisah tadi, akan tetapi biarlah tetap kami tulis agar ia bisa menjadi ibrah (pelajaran) bagi kami dan para akhwat lainnya, insya Allah. 

*** 

Apa ini yaa akhwat? Apa ini? Mengapa di kala sang ikhwan meminta dirimu secara halal untuk menjadi bagian dari hidup dan kehidupannya engkau malah menolak karena suatu alasan yang engkau pertahankan? Namun, disaat ia telah berlabuh di dermaga orang lain dengan ikatan yang mulia engkau malah datang untuk mengemis-ngemis cinta darinya, datang untuk menghinakan dan merendahkan dirimu sendiri di hadapannya dan pula di hadapan Rabb sembahan kita semua? Kemana perginya alasan yang engkau tegakkan ketika menolaknya pada saat engkau menghamba berharap belas kasih darinya, mengharap lembaran-lembaran SMS yang datang dari HP-nya? 

Apa maksud di hatimu ya akhwat? Apakah engkau ingin dipoligami olehnya? Begitukah? Apakah engkau ingin dipoligami dalam maksiat dan dosa olehnya, melalui ulah-ulah serong engkau dan dia melalui HP-HP kalian, melalui inbox-inbox FB kalian? Beginikah jalan yang engkau dan dia tempuh untuk ‘mengamalkan’ sunnah Nabi kita yang mulia ini? Melalui cara  yang buruk lagi busuk ini? Ya Allah, poligami seperti apakah gerangan yang akan kalian amalkan nantinya jika sejak pertama saja setan telah ambil bagian di dalam proses centang-perenang kalian menujunya? Astagfirullahal ‘azim. 

Yaa akhwat, benar poligami adalah kebaikan, insya Allah, akan tetapi apabila ia dilakukan dengan niat yang benar lagi dengan cara yang baik, bukan dengan niat yang Allahu a’lam dan dengan cara yang serampangan seperti yang tengah dia dan engkau tempuhi! Apakah engkau tidak menimbang bagaimana keadaan si ummahat, istri pertama dari sang ikhwan yang hendak mempoligamimu? Apakah engkau tidak bisa meraba-raba keadilan si calon suamimu itu, jika sekarang ia telah berani memukul istrinya karenamu, berani mangabaikan dan mendzalimi istrinya karenamu, apalah lagi nanti? Di mana hatimu sebagai sesama perempuan yaa akhwat? Kemana ilmumu sebagai seorang penuntut ilmu yaa akhwat? 

Yaa akhwat menyadar diri atau menahu diuntunglah engkau dengan posisi kita. Janganlah lagi engkau fitnah para ikhwan dengan fitnahmu, sebagaimana hadits Nabi kita yang mulia -shalallahu ‘alayhi wassalam-.

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
 


"Tidaklah aku menginggalkan fitnah, setelah aku (wafat), yang lebih berbahaya atas laki-laki daripada wanita". [HR Al-Bukhari no: 5096. Muslim, no: 2740,] 

Selamatkanlah para ikhwan dengan rapatnya hijabmu, dengan teguhnya prinsipmu dan dengan indahnya ketaatanmu yaa akhwat. Jika ia yang engkau damba telah lepas dari genggaman maka tatalah hatimu untuk mencari yang lain dengan cara nan sesuai dengan aturan-aturan syariat. Pun, jika engkau bersedia dipoligami olehnya maka lakukanlah prosesnya dengan cara yang benar, bukan dengan cara-cara serong ala perempuan murahan, karena begitu rapuhnya hatimu dan begitu murahnya harga dirimu sehingga engkau mau dipoligami melalui wasilah FB dan HP semata. Di mana harga dirimu sebagai seorang perempuan muslimah, yaa akhwat? Di mana harga dirimu sebagai seorang perempuan salafiyah, jika benar engkau menisbatkan dirimu kepadanya?  

Di atas semua itu, perhatikanlah laki-laki yang menawarkan madu kepadamu itu yaa akhwat, apakah ia dari kalangan orang-orang yang diberi kemampuan oleh Allah dalam menjalankan syariat poligami yang mulia ini, atau malah dari kalangan orang-orang yang sok kasak-kusuk mencari istri ‘tambahan’ sementara mental dan akhlaknya sangat busuk? Allahu a’lam. Jangan sampai engkau yang berharap hendak memasuki surga karena pahala poligami malah  ‘nyasar’ dan kecemplung di neraka karenanya. Na’udzubillahi min dzalik. 

*** 

~>Mari Kita Saling Bernasihat: 

Aduhai, telah keterusan pena-pena kami dalam mengata-ngatai kalian. Maafkanlah kami, sekali lagi maafkanlah kami. Kami menulis dengan bahasa yang garang seperti ini karena begitu besarnya rasa cinta dan sayang kami kepada kalian, yaitu rasa cinta dan sayang karena Allah dalam rangka saling menasihat dalam kesabaran dan ketaatan, insya Allah. 

Yaa akhwat, selanjutnya kami menasihati diri-diri kami dan diri-diri kalian dengan beberapa nasihat berikut ini: 

Pertama: 

Hendaknya kita, para akhwat jangan gampang terpesona atau kasarnya katakankah jangan gampang klepek-klepek sama status berbau nasihat dari seorang ikhwan di dunia maya, baik ikhwan yang masih sendiri terlebih ikhwan yang telah beristri, termasuk sama tebalnya jenggot atau cingkrangnya celana mereka jika sekali waktu tanpa sengaja kita bertemu dengan mereka di dunia nyata karena semua itu sungguh ukurannya adalah nisbi (relatif). 

Memang, celana cingkrang yang mereka kenakan dan jenggot tebal yang mereka peliharakan dengan baik adalah ‘kriteria standar’ kita dalam menilai seorang ikhwan, sebagaimana mereka juga menilai kita dari jilbab-jilbab kita yang kita hulurkan ke seluruh tubuh kita karena memang itulah amalan yang tampak secara dzahir sebagai bukti komitmen dari masing-masing kita dalam mentaati hukum-hukum syariat. Allahu a’lam. Namun, di atas semua itu tetaplah kita selektif dalam memilih pendamping, jangan gampang ‘tersentuh’ dengan status, komen, bahkan inbox-inbox panjang yang isinya begini dan begitu dari sebagian ‘kecil’ kaum mereka yang tengah agak konslet akhlak dan urat sarafnya. Ingat, proses mempengaruhi hasil. Bagaimana kita hendak mendapatkan keberkahan Allah dalam pernikahan kita nantinya jika sejak proses awalnya saja apa-apa yang kita lakukan telah menyimpang dari tuntunan-tuntunan syariat? 

Mari menjaga harga diri sebagai kuntum-kuntum bunga terpelihara yang dipagari kawat berduri baik di dunia nyata terlebih di dunia maya yaa akhwat. Mari deklarasikan kepada mereka jika mereka ingin memetik kita maka datangilah sang pemilik tanaman yang memegang kunci pagar kawat berduri tersebut dengan membawa jambangan yang sebelumnya telah dihiasi dengan ilmu dan taqwa, jambangan yang siap kita tempati dan kita hiasi dengan segala keindahan nan ada pada diri kita yang selama ini kita sembunyikan khusus untuk si empunya jambangan itu saja, insya Allah.   

Kedua: 

Bagi yang sedang ta’aruf maka jangan tergesa-gesa dalam meng-acc setiap proposal yang masuk tanpa membaca, menelaah, dan beristikharah kepada Allah atasnya terlebih dahulu sehingga akhirnya terjadilah penyesalan karena kita telah terlanjur membeli kucing dalam karung. Berharap kucingnya adalah kucing anggora nan bermata syahdu dan bertampang lucu ternyata setelah dibuka yang nongol adalah si kucing garong nan bermata jelalatan dan suka mencakar tak karuan. Na’udzubillahi min dzalik.

Cari tahu siapa dia dan bagaimana sepak terjangnya yaa akhwat karena pada saat ini sering kita temui saudara dan saudari kita nan telah bertahun-tahun duduk di dalam majlis-majlis ilmu di atas manhaj yang mulia ini, namun sepertinya tidak ada yang membekas pada diri-diri mereka -semoga kita tidak demikian- selain jenggot dan celana cingkrang itu saja atau selain jilbab lebar yang kadang dilengkapi dengan cadar itu pula. Namun, akhlak mereka sangat jauh dari tampilan mereka. Jika bicara fitnah ini dan itu maka lisan merekalah yang paling lantang dan keras dalam berkoar-koar akan tetapi jika bicara akhlak, duh ternyata beti (beda tipis) saja dengan saudara-saudari kita lainnya yang belum mengaji. Allahu a’lam. 

Di atas semua itu, apa yang kelak kita dapatkan adalah cerminan dari diri kita sendiri. Seperti apa kualitas diri kita maka seperti itu pulalah kualitas orang yang akan mendatangi kita nantinya -atas kehendak Allah- sebagaimana Firman Allah dalam surat An-Nur ayat 26 berikut ini:

…..الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)......” (Qs. An Nur:26) 

Ketiga:

Bagi akhwat yang memilih untuk dipoligami maka timbang-timbanglah kemampuan diri, apakah benar diri kita termasuk keluarga besar kita siap dengan keputusan yang kita ambil atau tidak. Kemudian timbang pulalah keadaan istri pertama dari sang ikhwan yang akan berbagi madunya dengan kita, jangan sampai kita meski secara tidak sengaja  malah akan mendzalimi ia dan bahkan anak-anaknya.

Kemudian, kami ulangi separagraf tulisan kami yang lalu, perhatikanlah laki-laki yang menawarkan madu kepadamu itu yaa akhwat, apakah ia dari kalangan orang-orang yang diberi kemampuan oleh Allah dalam menjalankan syariat poligami yang mulia ini, atau malah dari kalangan orang-orang yang sok kasak-kusuk mencari istri ‘tambahan’ sementara mental dan akhlaknya sangat busuk? Allahu a’lam. Jangan sampai engkau yang berharap hendak memasuki surga karena pahala poligami malah  ‘nyasar’ dan kecemplung di neraka karenanya. Na’udzubillahi min dzalik.

Selanjutnya perbaikilah niat selalu karena pahala tentu sebanding dengan ujiannya. Poligami adalah hal yang membutuhkan mental nan luar biasa, kesabaran yang melaut dan menyamudra serta keikhlasan yang selalu terpelihara. Sungguh, kadang hati kita tidak bisa seikhlas apa yang kita katakan dengan lisan-lisan kita karena setan akan selalu mencari celah dalam menyimpangkan keikhlasan kita tersebut dengan segala cara. Allahu a’lam. 

Keempat:

Marilah kita senantiasa bersabar dalam menunggu seorang laki-laki shalih yang suatu hari insya Allah akan Allah datangkan jua untuk kita. Sungguh kami mengerti bagaimana rasanya menunggu karena pada saat ini kamipun tengah menunggu. Namun, sekali-kali janganlah kita ‘lelang’ diri-diri kita di akun-akun FB karena begitu rendahnya kesabaran dan rasa tawakkal yang ada di dalam hati-hati kepada Allah Ta’ala.

Memang, tak ada larangan bagi kita, kaum perempuan jika kita hendak ambil bagian di dalam dunia per-internetan, namun marilah kita menjaga harga diri-diri kita sebagai seorang perempuan muslimah, apalagi jika kita dari kalangan perempuan salafiyah. Jangan sampai kita menjadi orang yang bersedih hati di akhirat nanti karena kita telah membangkang hukum-hukum syariat dalam keadaan sadar, sementara hujjahnya telah tegak atas kita.

Berikut kami nasihatkan engkau dengan sebuah nasihat dari seorang teman kami ketika pertama kali kami akan berkecimpung di dalam dunia maya ini, yang kala itu dengan niat untuk menuliskan beberapa kisah yang kami alami ataupun yang kami temui: 

“Tetaplah kalian pada kodrat kalian dengan tetap menjadi perempuan-perempuan pingitan. Janganlah karena maksud untuk meng-eksistensi-kan diri-diri kalian di dunia maya maka kalian menentang kodrat kalian sebagai perempuan-perempuan pingitan itu. Sebagai contoh, jika kalian ingin menyalurkan kemampuan kalian dalam menulis maka cukuplah kalian mempublish tulisan-tulisan kalian dengan menyamarkan pelaku dan penulisnya sehingga tidak mendatangkan fitnah untuk kalian. 

Selain diramaikan oleh orang-orang yang baik, insya Allah maka di dunia maya ini juga terdapat orang-orang dari golongan ahlul bid’ah, ahlul maksiat dan sejenisnya bahkan jumlah mereka lebih banyak daripada golongan yang pertama. Kemudian, di dunia maya ini juga terdapat segolongan laki-laki yang secara tiba-tiba bisa saja menjadi detektif dadakan yang akan mencari tahu tentang diri-diri kalian sampai ke tempat-tempat  terjadinya perkara. Oleh sebab itu hendaklah kalian berhati-hati dari sebab-sebab yang akan menggelincirkan kalian, dari sebab-sebab yang pada akhirnya akan menjadikan kalian termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bersedih atas kelalaian diri-diri kalian sendiri.” 

Kelima: 

Demi kemaslahatan bersama dan demi menjaga diri dari fitnah, mari galakkan aksi NO CONFIRM AJNABY / AJNABIYYAH (laki-laki/perempuan non mahram) DI FACEBOOK, terutama bagi kita-kita yang telah menahu akan kadar diri kita dalam hal amal dan ilmu. Ah, mengapa kita bisa menjadi perempuan-perempuan perkasa di dunia nyata sehingga dengan demikian kita tidak mau sembarang berinteraksi dengan mereka, akan tetapi di dunia maya -dunia tanpa batas dan tanpa ‘sekat’- kita malah menjadi perempuan-perempuan yang gampang sekali meng-add atau mengkonfirm makhluk-makhluk berjakun itu? Ah, mengapa di dunia nyata kita tidak berani meski sekedar menatap seorang ikhwan ketika secara tidak sengaja kita berpas-pasan dengannya, namun di dunia maya kolom komentar kita malah telah bertimpukan saja antara yang perempuan dengan yang selainnya? Ah, entahlah.

Nasihat kami, jika kita BELUM  termasuk kepada golongan orang-orang yang telah mempunyai tameng nan kuat -insya Allah- untuk menahan dan menangkis aneka fitnah yang akan ditimbulkan karenanya maka sebaiknya kita cukupkan friend list kita dengan sesama perempuan semata, insya Allah di dunia maya juga terdapat begitu banyak akhwat dan ummahat yang bisa kita ambil ilmunya dan bisa pula kita minta pendapatnya jika kita menemui suatu masalah sehingga kita tidak perlu berpayah-payah  dalam “menyeleksi” orang yang “alim” dari kalangan ikhwan untuk mencarikan solusi dari masalah kita yang dimaksud. Namun, biasanya akhwat dan ummahat yang ‘mumpuni’ tersebut memang  tidak selalu standby di depan layar untuk melayani kita. Mereka -atas penjagaan Allah- hanya berurusan dengan dunia maya seperlunya dan menghabiskan waktunya kepada hal-hal yang lebih bermanfaat. Allahu a’lam.

Sudah, sekian. Afwan.

***

14 Desember 2011

Bumi Allah,
Goresan Kami

Editor: dr. Raehanul Bahraen 

*** 

(1) Paragraf ini kami ambil dari artikel “WAHAI PUTERIKU” Oleh : Ali Ath-Thanthawi, dengan sedikit perubahan.

3 komentar:

Anonymous,  January 25, 2012 at 5:25 AM  

bismillah. ukhti bagaimana jika kita add akun sebuah lembaga dakwah -insya Allah sunnah-, namun kita ketahui kebanyakan admin-nya adalah ikhwan. bukankah admin tsb bisa melihat status yang kita buat dan komentar2 kita ke teman lain ukh? bagaimana ya? ana suka dengan tulisan ini. barakallahu fiik ^^

Forum Ihya' Sunnah January 27, 2012 at 9:08 PM  

bismillah...
saudaraku, bukankah diantara ulama kita yakni syaikh Rabi' menasehati kita agar berhati hati, bahkan beliau melarang FB, dan yang semisal denganya. Aku heran dengan kalian yang mengatakan "untuk sarana dakwah"??? subhanallah...
bukankah lebih aman kita behati hati, dan mengindahkan nasihat ulama kita. namun, kalian terus saja mencari cari alasan dan keringanan dengan mencari cari fatwa ulama lain yang membolehkan...? subhanallah... untuk tim goresan kami, kalian adalah para akhowat... kalian benar, "hendaknya kita menutup diri serapat rapatnya demi iffah kita", namun, tanpa kalian sadari kalian telah menbuka diri-diri kalian di FB atau yang semisal, kalian...

afwan...

Ummu Shiddiq April 1, 2012 at 8:45 PM  

Sbenarnya bkn hny di dunia maya sj yg sering trjadi spt kisah di ats,di dunia "nyata" pun bnyk trjadi...

Post a Comment

Silahkan tuliskan komentar Anda dengan tetap menjaga sopan santun berbahasa..

With Love ^^

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP