Engkau Yang Kukira Kaca Ternyata Adalah Permata (Serial Curhatan Para Ummu)

Thursday, September 15, 2011

 Bismillah...

*) Pengantar:
Kawan semuanya, kisah yang akan kawan baca pada kesempatan kali ini adalah kisah dari seorang ummahat (ibu rumah tangga) yang beliau kirimkan via inbox ke ‘Goresan Kami’ untuk kemudian kami kembangkan menjadi sebuah artikel, insya Allah.

Semua kisah dalam grup ‘Goresan Kami’ adalah kisah nyata dari kami dan orang-orang disekeliling kami, insya Allah karena kami mengerti bahwasanya menulis cerita fiksi sama sekali tidak diperbolehkan dalam agama kita yang mulia karena hal itu sama saja dengan menyampaikan berita bohong kepada manusia yang lainnya.

Adapun semua kisah yang masuk ke inbox ‘Goresan Kami’ dan kemudian kami rangkaikan dengan kalimat-kalimat kami tersebut, termasuk kisah ini maka sebelum dipublish telah kami periksakan lagi kepada ummu yang berkisah agar tidak ada poin yang kami tambah-tambahi dan tidak ada pula bagian yang kami ada-adakan, insya Allah.

Baiklah, tak usahlah kami berpanjang-panjang kata lagi, silakanlah kawan semuanya mulai membacai kisah mengharukan berikut ini:

*) Ini Kisahnya:
Pembaca ‘Goresan Kami’, pada kesempatan ini ana hendak menyampaikan sepenggal kisah ana yang sejatinya cukup memalukan bagi ana karena ia adalah sebuah ‘aib yang mestinya harus ana jaga ke-rahasia-annya, akan tetapi dengan mengisahkannya kepada dunia, terutama kepada pembaca ‘Goresan Kami’ maka ana berharap ada sedikit ibrah yang bisa diambil darinya, insya Allah.

Ana adalah anak dari sepasang suami istri yang sesugguhnya dahulu saling  mencintai. Ibu ana adalah perempuan keturunan Jawa sementara ayah ana adalah seorang mu’alaf keturunan bangsa bermata sipit, tepatnya beliau adalah keturunan Cina. Ayah ana alhamdulillah memang telah memeluk Islam sebelum menikahi ibu ana.

Rumah tangga orangtua ana pada mulanya adalah rumah tangga yang harmonis, hingga pada suatu hari ibu ana menemukan bukti yang kuat lagi tidak terbantahkan bahwasanya ayah ana berselingkuh dengan seorang perempuan yang sangat tidak sebanding dengan beliau. Ibu ana adalah seorang perempuan baik-baik dan pula berpendidikan tinggi, sementara perempuan selingkuhan ayah tersebut adalah seorang perempuan ‘murahan’ karena ia nekad berselingkuh dengan ayah ana padahal saat itu dia berstatus sebagai istri bagi seorang laki-laki.

Sejak saat itu keluarga ana menjadi layaknya keluarga yang centang perenang sehingga akhirnya ketika ana berusia enam tahun ayah dan ibu ana bercerai.

Hari berganti dan masa telah berlalu, sekitar setahun kemudian ibu ana menemukan seorang laki-laki sebagai pengganti suami beliau yang dahulu, yang pula sebagai pengganti ayah bagi ana tentunya. Menurut ana, ayah pengganti atau ayah baru bagi ana tersebut adalah seorang laki-laki  yang baik dan bertangung jawab kepada keluarga meski pengetahuan agama beliau masih seperti saudara muslim kita kebanyakan. Wallahu a’lam.

Tahun berganti tahun alhamdulillah kami jalani dengan baik dan ibu anapun terlihat sangat bahagia. Sejak menginjak masa-masa awal SMA ana telah belajar untuk memakai jilbab, meski belum sesuai dengan kriteria jilbab syar’i, akan tetapi hati ana merasa hampa, gundah, gulana, resah dan juga gelisah antara kehilangan ayah kandung dan masa-masa pencarian jati diri bagi seorang muslimah yang baru saja akan menumbuh dan hendak memekarkan bunga, insya Allah.

Karena keluarga ana bukanlah keluarga yang telah ‘jadi’, yang ketika ana lahir  kedua orangtua ana telah menapaki manhaj salaf yang mulia ini, akan tetapi seperti yang telah ana kisahkan sebelumnya maka ana sangat haus akan ilmu. Ana mengaji di sana dan juga disini, ana ikut ta’lim di tempat itu dan juga di tempat ini, pokoknya bagi ana kala itu yang penting adalah ana bisa mendapatkan ilmu. Ana sama sekali belum tahu apa itu manhaj dan siapa itu para salafush shalih, akan tetapi ana bersyukur karena masa-masa SMA seperti ini telah Allah tetapkan sebagai sebuah bagian dalam hidup ana yang dengannya bisa menjadi batu loncatan bagi ana sehingga sekarang ana bisa menapaki manhaj salaf dan berusah tegar di atasnya, insya Allah.

Pada masa-masa SMA ini sebenarnya telah pernah terlintas keinginan di dalam hati dan fikiran ana untuk mulai menggunakan jilbab yang sesuai dengan standar syar’iat akan tetapi kala itu ana sungguh belum mampu, belum punya cukup ilmu  dan pula belum punya nyali sehingga lintasan keinginan tersebut hanya bisa ana pendam dan diamkan saja.

Ketika tibalah masanya bagi ana untuk kuliah, ana teramat sangat jatuh cinta kepada seorang teman sekelas ana, yang pada masa itu secara zhahir sudah berjenggot dan bercelana cingkrang. Yah, setidaknya kedua penampakan seperti inilah yang secara zhahir bisa ana lihat dari kesungguhan usaha seorang laki-laki dalam mengamalkan sunnah dalam hidupnya. Si teman laki-laki sekelas ana ini juga seorang laki-laki yang sangat sopan sehingga cukuplah dalam pandangan ana dia sebagai  laki-laki yang super sangat hebat luar biasa.

Namun, semua asa dan rasa harus diluruhkan sebelum ia mulai menemukan muaranya karena ternyata laki-laki yang super sangat hebat luar biasa dimata ana ini telah menikah!! Hati ana bagai tercabik-cabik karenanya. Ana patah hati selama beberapa waktu akan tetapi setelah itu ana berusaha untuk pulih dan mulai membuka diri agar bisa menerima laki-laki lain dalam hidup ana untuk dicintai dan dijadikan suami.

Akhirnya ana bertemu lagi dengan seorang laki-laki dan spesifikasi kali ini juga tidak terlalu jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Setelah melewati proses ta’aruf yang hanya sebentar akhirnya diapun setuju untuk melamar ana, akan tetapi lagi-lagi tidak berjodoh. Ayah tiri ana tidak menyetujuinya dengan alasan yang tidak bisa ana terima sampai hari ini. Ana tidak ada daya karena akhirnya cinta ana kandas lagi.

Hingga suatu hari ada seorang pemuda yang menyatakan kepada ana kalau dia ingin menikah dengan ana. Niatnya ana sampaikan kepada ibu ana dan beliau berkata, “Terima saja karena insya Allah dia adalah pemuda yang baik”. Kata ibu ana pula beliau cukup mengenal pemuda ini karena perusahaan tempat si pemuda bekerja memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan kecil-kecilan keluarga kami.

Singkat cerita akhirnya ana menerima dia sebagai seorang laki-laki yang menikahi ana. Dia memang seorang laki-laki yang baik hanya saja kala itu ana menilai ilmu agama yang dimilikinya belumlah memadai untuk ana jadikan sebagai imam dalam rumah tangga kami. Dan seiring bergulirnya waktu, setelah ana menikah dengannya anapun mulai kecewa mengapa dahulu ayah ana malah menolak laki-laki yang hendak melamar ana sementara dia lebih dekat kepada ‘harapan’ ana daripada suami ana yang sekarang. Ana tidak tahu seperti apa perasaan ana terhadap ayah ana saat itu, ana marah, kesal, menyesal dan entah merasa apalah lagi namanya kepada beliau.

Tahun beganti tahun akan tetapi ana belum juga bisa memberikan hati dan mencintai suami ana karena barulah tiga tahun kemudian ana bisa melupakan laki-laki yang pernah ditolak ayah dahulu, sementara itu ana tetap berusaha untuk bisa mencintai suami ana pelan-pelan, ana pula senantiasa berdo’a untuk kebaikannya. Dan hal ini sungguh tidak mudah bagi ana.

Berapa waktu kemudian ana mengajar privat seorang anak perempuan yang bundanya sangatlah menawan lagi mempesona bagi ana. Bunda yang pintar, shalihah serta hijabnya sangat syar’i. Ana sangat penasaran dengan si Bunda shalihah ini sehingga setelah sering berdiskusi dengan beliau barulah ana tahu kalau beliau ternyata adalah seorang perempuan salafiyyah yang tengah berusaha istiqomah dalam menapaki manhaj salaf yang mulia, insya Allah.

Dialah yang menjadi wasilah Allah bagi ana sehingga ana bisa mengenal manhaj ini. Beliau mengajak ana mengikuti ta’lim, meminjamkan ana buku-buku tentang islam yang murni, dan meyarankan ana untuk mendengarkan radio-radio sunnah sehingga akhirnya ana benar-benar mantap untuk berhijab syar’i sebagaimana yang pernah ada dalam keinginan ana ketika masa-masa SMA dahulu. Alhamdulillah dengan adanya ilmu yang terang dan hujjah nan kuat, insya Allah membuat ana bisa mengambil keputusan yang sebenarnya telah wajib ana lakukan semenjak ana baligh itu.

Pada saat itu ana berjuang sendirian karena suami belum mau mengaji, bahkan sholatnya-pun masih belum bisa istiqomah. Ana tetap bersikeras menghadiri ta’lim setiap hari ahad seorang diri sampai ada diantara teman-teman ana yang mengira ana belum menikah, bahkan ada seorang ikhwan yang berniat hendak menta’arufkan ana dengan teman beliau, sehingga sejak saat itu ana mulai membiasakan diri untuk membawa serta anak ana ke tempat ta’lim yang kala itu masih berusia tiga tahun.

Tak pernah disangka dan tak pernah pula dikira, ternyata Allah kembali menguji ana sehubungan dengan kesetiaan ana terhadap suami ana, terlepas apakah saat itu ana telah bisa mencintainya atau belum. Tiba-tiba si ikhwan, laki-laki super sangat hebat luar biasa yang dahulu pernah membuat hati ana condong kepadanya nongol di-fb ana, dia mengirimkan permintaan pertemanan kepada ana. Sungguh hati ana bergejolak saat itu, mulailah iblis menyelimutkan talbisnya ke hati dan fikiran ana, “Toh dia telah beristri dan dia kan juga tidak tahu kalau ana pernah menyukainya semasa kuliah dahulu”, beginilah kira-kira bisikannya kepada ana.

Pertemananpun diterima dan syetan pula telah mulai semakin mengulurkan benangnya. Dia dan ana sering berbalasan komen saja pada mulanya akan tetapi kemudian mulai ketemuan dan minum-minum di warung kopi dengannya melalui pesan-pesan masuk. Yah, betapa tidak akan begitu kiranya, meski raga tetap dibalik layar monitor masing-masing akan tetapi sejatinya hati tengah berkhalwat dan bermaksiat dengannya bak sepasang manusia yang saling berbincang tentang hal-hal yang tidak penting  di café-café atau di warung-warung kopi!!

Hingga akhirnya ana berfikir untuk menerima permintaannya agar ana bersedia menjadi istri kedua baginya. Yah, dia katanya memang sedang mengusahakan proses mempoligami istrinya dengan seorang perempuan lain, dan perempuan lain yang ‘beruntung’ itu adalah ana karena pilihannya jatuh kepada ana. Aduhai, sungguh ana adalah seorang perempuan yang ‘beruntung’ itu, bukan??

Astagfirullah, betapa syetan semakin menjadi-jadi, dikasih hati telah minta jantung pula ia sekarang rupanya. Entahlah, bagaimana mungkin seorang ikhwan,  laki-laki super sangat hebat luar biasa dalam pandangan ana ini hendak mencari perempuan lain sebagai istri keduanya melalui dunia maya, dengan cara yang teramat sangat hina seperti ini?? Bagaimana ia hendak mengamalkan sunnah Rasulullah yang mulia nan cukup berisiko tinggi bagi orang-orang yang se-enak perutnya saja untuk berpoligami ini dengan cara-cara yang tidak syar’i?? Bagaimana sunnah Rasulullah yang mulia tentang poligami ini tidak akan dilecehkan oleh orang-orang yahudi dan nasrani, bahkan oleh saudara-saudara muslim kita yang masih belum mengerti akan perkara besar tersebut jika tipe-tipe pelakunya saja bejat begini??

Akal ana mulai ditunggangi nafsu. Ana berfikir apa salahnya ana menjadi istri kedua bagi seorang ikhwan, laki-laki super sangat hebat luar biasa ini daripada menjadi istri pertama dan satu-satunya dari seorang laki-laki yang biasa-biasa saja? Suami ana belum juga berubah, dia masih belum mau untuk mengaji dan memperlajari agamanya sendiri, jadi utuk apa ana pertahankan??

Akhirnya tibalah masa itu, suatu hari suami ana menemukan sms dari si ikhwan tadi di hp ana. Astagfirullah, dari pesan masuk di fb sekarang telah menjadi pesan singkat di hp!! Suami ana marah luar biasa. Saat itu barulah dia tahu secara gamblang kalau dari semula ana memang belum bisa mencintai dia. Kami hampir bercerai karena keributan di antara kami begitu parah,  hingga ana jatuh sakit dan dokter mengatakan kalau ana sinusitis. Yah, karena penyesalan yang teramat sangat akhirnya berujung kepada tangis panjang selama berhari-hari, tekanan pada hidung menjadikan ana menderita penyakit sinusitis tersebut.

Hingga suatu malam, disaat ia kembali marah barulah ana mencurahkan segala sesak yang selama ini ana tahan karena dirinya dan  semua harapan yang  ana harapkan darinya. Walhasil, seminggu setelah itu ana mulai membaik. Ana dan suami pula mulai berbaikan, bahkan hubungan kami bisa menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya, alhamdulillah.

Kemudian taufiq dan hidayah Allah-pun akhirnya datang, insya Allah walhamdulillah. Sungguh, Allah masih teramat sayang kepada ana padahal ana telah bermaksiat kepadaNya dengan mendurhakai suami ana. Suami ana kini telah berubah!! Dia yang semula hanya ana anggap sebagai kepompong kini telah bermetamorfosis, menjelma menjadi kupu-kupu jantan yang sungguh mempesona.

Suami ana kini telah mengaji bahkan tanpa ana paksa sedikitpun. Ana ingat sekali ketika sepulang mengikuti sebuah pengajian dia langsung bertanya tentang sifat shalat Nabi yang sampai tengah malam ia masih saja membahasnya dengan ana. Dan sungguh, sampai hari ini tidak ada satu kajianpun yang kami lewatkan untuk dihadiri bersama, insya Allah.

Sholatnya kini telah istiqomah, bahkan telah pula berjama’ah di masjid. Sholat malam juga telah  mulai dilakoni dan dirutinkannya. Pada saat Ramadhan maka shalat tarawihnyapun tidak pernah absen meski semalam. Alhamdulillah pula sekarang dia telah bisa mengamalkan sunnah dalam kesehariannya. Yah, sekarang dia telah bercelana cingkrang dan pula telah memelihara jenggotnya, insya Allah.

Perubahan demi perubahan suami ana itu berlangsung sampai hari ini, sampai ana menceritakan kisah ini, insya Allah yang pada saat ana mengetikkan kata demi kata pada pesan ini mata ana sedang mengalirkan air mata kesyukuran kepada Allah Ta’ala.

Demi Allah ana sangat menyesal karena dahulu pernah mengkhianatinya. Seiring perubahannya ana mulai mencintainya sedikit demi sedikit, yang kemudian terus bertambah hingga menggunung tinggi pada hari ini dan sampai nanti hanya Allah saja yang memisahkan kami, insya Allah.

Itulah sepenggal kisah ana, semoga dapat diambil ibrahnya oleh kawan semuanya, terutama bagi adinda yang belum menikah. Tak disangka, dia yang ana anggap sepotong kaca ternyata adalah sebongkah permata, insya Allah.

*) Mari kita memetik ibrah:
Kawan semuanya, begitulah salah satu kisah yang dikirimkan oleh seorang ummu via inbox ke ‘Goresan Kami’, yang pada saat kami pertama kali membaca draft kisah beliau tersebut hati kami sungguh sangat kaget tak alang kepalang karenanya. Dalam fikiran kami yang belum menikah ini kami tidak pernah membayangkan seorang ummahat yang notabenenya telah mengaji dapat jua terjerat maksiat dan dosa yang sangat mengerikan, yaitu mendurhakai suaminya sendiri dengan cara yang mungkin saja kita anggap sepele, berkhalwat di dunia maya!!

Pun sekarang, kami insya Allah akan memetikkan  untuk kawan semuanya beberapa ibroh yang kami ambil dari kisah ini,

Ibroh Pertama:
Sesekali tidaklah kita menanggalkan baju dan tabi’at kemanusiaan kita sehingga dengannya kita bisa menjadi malaikat yang terbebas dari semua maksiat dan dosa hanya karena kita telah mengaji. Justru dengan mengaji itulah ujian yang akan Allah ujikan kepada kita akan semakin berat lagi karena bukankah ketika Allah hendak meluluskan dan menaik-tingkatkan kita adalah dengan memberikan kita ujian demi ujian, dimana semakin kuat tingkat keimanan kita maka akan semakin bertambah pula tingkat kesulitan ujian yang diberikanNya?

Coba kawan fahami dan renungkan Al Quran surah Al Ankabut : 1-7, dimana pada ayat ke dua Allah berfirman,

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?”

Duhai kawan yang arif lagi bijaksana, salah dan khilaf serta godaan dan tergoda itu tetap akan ada, baik ketika kita masih menjadi manusia yang bejat ataupun ketika kita tengah berpayah menjadi manusia nan ta’at maka ia tetap akan menghampiri kita karena memang itulah sunnatullahnya, memang itulah ‘akad antara iblis dengan Rabb kita sejak mulanya kita dicipta, tepatnya ‘akad bahwa ia akan selalu menggodai kita dari segala arah dan penjuru sehingga kitapun dapat menemani mereka di neraka pada akhirnya.

Oleh sebab itu ya kawan, jika memang kau dapati ada diantara saudaramu melakukan kesalahan maka ingatkanlah ia dengan peringatan Allah dan RasulNya dengan cara yang baik, jikapun engkau harus mengancamnya maka ancamlah ia dengan ancaman Allah dan rasulNya juga dengan cara yang baik, bukan dengan membeberkan ‘aib mereka kepada teman-teman kita yang lain, bukan pula dengan menvonisnya sebagai manusia yang munafik dan sebagainya. (Lihat note kami ~Ukhty, Mari Kita Mengaji Dan Mari Kita Merunduk Padi~)

Ibroh Kedua:
Sebagai seorang perempuan maka kita boleh saja memasang target atau keriteria yang begini dan begitu terhadap seorang mahkluk Allah dari kalangan laki-laki yang nantinya hendak menikahi kita, akan tetapi jikapun pada keadaan yang kita dapati dia yang mendatangi malah jauh dari harapan semula maka janganlah sesekali kita kehilangan kesyukuran kepada Allah Ta’ala. Terimalah ia dengan segenap kelebihan dan kekurangannya karena disaat kita menyetujui untuk menikah dengannya maka sama artinya kalau kita telah menyanggupi untuk menikah satu paket dengan kelebihan dan kekurangannya tersebut.

Jikalah ia yang menjadi jatah kita itu bernilai enam pada mulanya maka do’akanlah kebaikan untuknya dalam setiap do’a lirih kita, ajak dan nasihati ia dengan cara yang baik dan pula dengan ikhtiar yang sempurna, serta selalulah tunjukkan akhlak dan pengabdian kita sebagai seorang istri yang shalihah baginya sehingga dengan begitu semoga Allah gerakkan hatinya untuk menerima hidayah yang tengah kita wasilahi untuknya, yang pada akhirnya semoga nilainya yang semula enam bisa berubah menjadi sembilan di hadapan Allah yang Maha Mengetahui nantinya, insya Allah. Aamiin.

Ibroh Ketiga:
Sebelum memutuskan untuk menikah hendaklah kita mencukupi diri kita dengan ilmu tentangnya terlebih dahulu. Sesekali janganlah kita hanya membayangkan saat-saat indah yang nanti akan kita lalui berdua dengannya, saat ia memberikan kita sekuntum mawar cinta, saat ia menulisi kita sepucuk surat dengan kata-kata yang agak membuaya, saat matanya dan mata kita beradu pandang dalam waktu cukup lama, atau saat-saat romantis lainnya, akan tetapi siapkan pulalah diri dan mental kita jika suatu masa nanti rumah tangga kita akan diuji dengan ujian yang begini dan begitu, diuji dengan ujian yang bisa saja membuat biduknya terombang-ambing atau bahkan bisa saja membuat biduk itu karam di tengah keganasan samudera dan fitnah dunia.

Saat-saat indah itu insya Allah akan kita rasakan apalagi pada tahun-tahun pertama pernikahan sebagaimana ujian itu pula insya Allah akan kita dapatkan sebagai penentu kelulusan yang mungkin datangnya agak belakangan. Wallahu a’lam.

Ibroh Keempat:
Salah satu fondasi terpenting dalam sebuah jalinan hubungan pernikahan adalah komunikasi yang baik antara nahkoda dan pesisirnya. Bagaimana dia akan tahu harapan-harapan yang kita inginkan  darinya sementara kita tidak pernah menyampaikan hal itu kepadanya?? Bagaimana dia tahu kalau dada kita tengah meyesak pada karena ulahnya sementara dalam anggapannya kita baik-baik saja??

Oleh sebab itu marilah kita bercermin kepada seorang perempuan shalihah, pendahulu kita dari bani Tamim yang ketika suaminya (Syuraih rahimahullah) hendak menghampirinya pada malam pertama pernikahan mereka maka iapun berkata, “Tahan dulu (sabar dulu), aku adalah seorang wanita Arab. Demi Allah, aku tidak pernah melangkah kecuali kepada perkara yang diridhai Allah. Dan engkau adalah lelaki asing, aku tidak mengenali perilakumu (yakni aku belum mengenal tabiatmu). Beritahulah kepadaku apa saja yang engkau suka hingga aku akan melakukannya dan apa saja yang engkau benci hingga aku bisa menghindarinya.”

Suaminya berkata kepadanya, “Aku suka begini dan begini (Syuraih menyebutkan satu persatu perkataan, perbuatan, makanan dan segala sesuatu yang disukainya) dan aku benci begini dan begini (Syuraih menyebutkan semua perkara yang ia benci).”

Ia berkata lagi, “Beritahukan kepadaku siapa saja anggota keluargaku yang engkau suka bila ia mengunjungimu?”

Aku (Syuraih) berkata, “Aku adalah seorang qadhi, aku tidak suka mereka (anggota keluargamu) membuatku bosan.”

Maka akupun (Syuraih) melewati malam yang paling indah, dan aku tidur tiga malam bersamanya. Kemudian aku keluar menuju majelis qadha’, dan aku tidak melewati satu hari melainkan hari itu lebih baik daripada hari sebelumnya. (http://kisahmuslim.com/kisah-istri-yang-menyejukkan-hati/)

Ibroh Kelima:
Dunia maya ibarat pisau bermata dua, yang jika kita bijak dalam menggunakannya maka ia akan mendatangkan kebaikan bagi kita, akan tetapi jika kita malah tidak bijak dalam menggunakannya maka ia akan mendatangkan kerusakan bahkan kematian bagi kita, dan tak tanggung-tanggung duhai kawan,  kematian yang akan diakibatkannya adalah kematian hati dan pula kematian iman!!

Kawan, betapa banyak kita lihat ikhwan dan akhowat yang telah mengaji apalagi yang belum mengaji menjadi korban cinta dan percintaan dari dunia maya ini. Mereka, atau lebih tepatnya kita para  ikhwan dan akhowat yang telah mengaji mengapa tiba-tiba berubah menjadi mahkluk-mahkluk nan bermuka dua ketika telah salah dalam menempatkan diri di dunia maya ini??

Bukankah seharusnya kita teramat sangat malu kepada Allah Ta’ala yang Maha Mengawasi setiap gerak dan gerik hambaNya? Begitu lemahkah diri-diri kita dalam meyakini pengawasan Allah sehingga sungguh kita seolah-olah begitu tegar menjaga hijab dan hati kita dihadapan teman-teman kita dan pula dihadapan mahkluk Allah yang berlawanan jenis itu dengan kita, namun  akan melemah pertahanan kita apabila kita sedang berkesendirian di dalam kamar-kamar kita, tepatnya di depan layar-layar monitor kita dalam  meladeni pesan-pesan membadai lagi menggelombang dahsyat dari mereka serta ajakan mereka untuk sesekali berchatting maksiat dan dosa melalui kotak-kotak obrolan kita??

Sungguh ironis dan meyedihkan jika kita, ikhwan dan akhowat yang telah mengaji masih sama saja tingkahnya dengan saudara-saudara kita yang belum mengaji. Jika saudara-saudara kita yang belum mengaji terjebak dalam hal ini tentulah semata-mata karena mereka belum tahu atau mereka sudah tahu akan tetapi belum sepenuhnya faham atau mengerti, sementara kita telah tegak hujjahnya atas kita, telah sampai rambu dan aturan yang harus kita jaga dalam setiap aktivitas kita, serta telah datang ancaman yang sungguh sangat pedih dari Rabb kita apabila kita nekad melanggarinya!! Wallahu a’lam.

Duhai hati, kemanakah rasa malumu??

Wahai  jiwa, dimanakah kehanifanmu??

Semoga hati-hati kita termasuk kepada hati-hati yang pemalu kepada Rabb kita yang Maha Tinggi, dan semoga jiwa-jiwa kita pula termasuk kedalam golongan jiwa-jiwa yang hanif lagi terpelihara, insya Allah. Aamiin.

Ibroh selanjutnya:
Demikianlah lima ibrah yang bisa kami ambil dan kami simpulkan berkaitan dengan kisah ini. Adapun jika kawan bisa mengambil ibroh lainnya maka silakan kawan kabarkan kepada kami melalui baris komentar yang ada di bawah tulisan ini, insya Allah.

Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat bagi yang tengah terlupa, terlebih semoga ia bisa menjadi penasihat bagi yang belum pernah terjebak kasus serupa, insya Allah. Aamiin.

***

10 September 2011

Bumi Allah,
Goresan Kami

***

Jazakillahu khairan kepada Ummu Fulan yang telah bersedia dan mempercayakan kepada kami untuk menulis dan mempublish kisahnya ini. 

Catatan:
Bagi setiap pembaca tulisan ‘Goresan Kami’ jangan lupa untuk membacai setiap tulisan kami tersebut sampai habis, lengkap sampai baris catatan yang menyertainya karena seringkali sebaris catatan itu adalah poin penting yang kami sisipkan sehingga dengan begitu mudah-mudahan pembaca tidak salah tafsir dan salah menyangka terhadap tulisan kami dan terhadap ‘Goresan Kami’. Wallahu a’lam.

2 komentar:

Anonymous,  December 18, 2011 at 2:36 AM  

~ Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena ALLAH, ALLAH akan menggantinya dengan yang lebih baik ~

insyALLAH

Ummu'Aisyah May 25, 2012 at 1:41 AM  

ana juga baru menikah beberapa bulan, insyaAllah tulisan diatas dapat menambah pengetahuan saya dalam menjalankan rumah tangga..
Jazakillahu khayran katsiran :)

Post a Comment

Silahkan tuliskan komentar Anda dengan tetap menjaga sopan santun berbahasa..

With Love ^^

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP