Ukhty, Kembali Kuingatkan Engkau Tentang Safarmu!!
Saturday, October 15, 2011
Bismillah..
Tulisanku  kali ini terinspirasi dari sebuah dialog antara aku dengan dua orang  temanku yang teramat aku sayang dan aku cinta karena Allah, insya Allah.  Tentu telah maklum bagimu kawan bahwasanya kami adalah sekelompok  akhowat yang karena beberapa kondisi tertentu bekerja di luar rumah,  tepatnya di bagian lapangan sehingga kami harus melakukan tugas kami ke  beberapa daerah yang terkadang atau bahkan hampir semuanya mencapai  jarak safar.
Semoga pula engkau telah membaca catatanku lainnya yang berjudul ~Dengan Bertambahnya Ilmu Dan Pula Umur Kok Malah Semakin Lancang??!!~ atau ~Ya Allah, Pingit Sajalah Aku~ agar  engkau tidak terlalu bingung dengan tulisan ini nantinya. Atau, jikapun  engkau adalah bagian dari kawan-kawanku yang tidak mempunyai kelapangan  waktu untuk membaca catatan-catatan tersebut maka akan aku copy paste kan saja separagraf isi pada tulisan itu  yang ada hubungannya dengan topik pembicaraan kita kali ini, insya Allah.
Inilah dia paragraf itu, silakan kawan membacainya,
“Safar.  Safar kadang menjadi suatu momok bagi seorang muslimah ketika hendak  melakukan perjalanan yang memang telah mencapai jarak safar padahal  tidak ada mahrom yang bisa menemani. Sehingga bagi perempuan-perempuan  yang berkerja di luar rumah apalagi di bagian lapangan sepertiku ujian  ini terasa teramat sangat berat. Ingin rasanya aku pergi sendiri ke  daerah-daerah tempat aku bekerja yang kadang daerah-daerah tersebut bisa  memanjakan mata dan menyegarkan fikiranku karena indahnya pemandangan  di sana. Aduhai, kadang ingin pula aku berkunjung ke provinsi lain,  bahkan ke pulau lain atas nama studi banding demi kelancaran pekerjaanku  sembari mencuci mata di negeri orang dan mengunjungi teman-temanku di  sana tentunya. Akan tetapi ancaman tentang ketidak-halalan perjalananku  membuatku melemah mental dan menyurutkan langkahku.”
Dan inilah kisah selanjutnya,
Siang  itu aku ditelfon oleh salah seorang teman akhowat seperjuanganku. Baru  saja aku menjawab telfonnya dengan salam  maka dia yang dari seberang  sanapun langsung mengabarkan sesuatu kepadaku dengan nada yang cukup  histeris, “Mba, coba tebak ada siapa disampingku saat ini??!!”
Mendengar  pertanyaannya yang harus aku tebak itu sunggh aku hanya bengong, mana  aku tahu siapa yang ada disampingnya lha dia berjarak dua pulau dari  rumahku!! Belum sempat aku menjawab apa-apa dia sudah langsung nyerocos  lagi, “Mbaaaa, disini ada fulanah!! Dia main kerumahku, kapan engkau  pula akan main kesini Mba??”
Aku kaget tak alang kepalang mendengar kabar itu kemudian aku pula bertanya, “Lha, ada acara apa si fulanah di sana?”
“Kemarin  dia studi banding ke provinsi x. Karena dari provinsi x itu hanya  nyebrang laut saja menuju pulau dan rumahku maka selesai studi banding  dia langsung kesini”, jawab temanku tadi.
“Oh  ya!! Mana dia, aku mau ngomong.”, lanjutku sembari meminta agar hapemya  diberikan kepada si fulanah yang sedang ‘main’ di rumahnya tersebut.
Beberapa  detik setelah itu aku langsung mendengar suara si fulanah yang  dimaksud. Setelah beruluk salam si fulanah berkata, “Mba e, aku sedang  menikmati indahnya suasana di pulau si nenek peot. Indah banget Mba!!  Coba aja sekarang Mba ada disini!!”
Interogasiku-pun dimulai, “Kamu sama siapa kesananya?? Sendiri kah?? Ada mahrom  kah karena perjalananmu itu kan udah tak tanggung-tanggung jaraknya,   dua pulau!!”
Dia yang dari seberang sana menjawab, “Aku tidak sendiri kok Mba. Aku sama teman-teman lainnya tapi perempuan semua. He he.”
Astagfirullah,  langsung aku katakan kepadanya, “Bertambah shalihah kamu sekarang ya,  Say?! Dengan bertambahnya ilmu dan pula umur kok kamu nekad safar sejauh  itu tanpa mahrom? Jika memang studi bandingmu itu urgent  sekali alias tidak bisa tidak dari atasan yang memberimu amanah untuk  itu sehingga engkau ‘menganggapnya’ sebagai sebuah ‘keringanan’ bagimu  maka kenapa engkau tidak langsung pulang sekiranya ia telah selesai??  Kenapa kamu kelayapan dulu ke sana?? Tak takutkah??”
Ah,  aku memang telah terbiasa untuk menasihati teman-temanku itu dengan  kata-kata ‘kasar’ alias blak-blakan begitu karena aku tahu kalau kami  semua adalah tipe-tipe perempuan yang harus langsung ditembak karena  tidak mempan jika hanya dielus-elusi saja. Kami tidak mau jika sekiranya  ada diantara teman-teman kami yang dengan pongah menjadi bagian dari  para muslimah-muslimah ‘pemberani’ dalam melanggar perintah Allah dan  RasulNya sementara kami ada di samping mereka dan pula tahu kesalahan  mereka. 
Oo,  aku juga tidak melulu berada di posisi sebagai juru tembak sebagaimana  yang dimaksud sehingga seolah-olah aku adalah ketua geng diantara  mereka, akan tetapi aku juga sangat sering menjadi korban tembakan  beruntun lagi membabi buta dari mereka-mereka itu. Alhamdulillah, jika  aku juga sedang kesabet syetan sehingga bertingkah agak aneh dan mereka  mengetahui keanehanku tersebut maka mereka juga tidak segan-segan untuk  menasihatiku sampai-sampai aku menangis dibuatnya. 
Insya  Allah kami memang telah bersepakat untuk saling menasihati dalam  kebaikan dan kesabaran sehingga semoga dengan begitu Allah tidak hanya  mengumpulkan kami di dunia nan fana ini saja akan tetapi juga  mengumpulkan kami di surgaNya nan sungguh sangat mempesona, insya Allah.  Aamiin.
Mendengar  suara tembakanku yang cukup menggemuruh dan menghalilintar itu  maka  temanku yang dimaksud menjawab kalau sebenarnya dia tidak terlalu  mengerti dengan hukum safar, tentang jarak minimal safar, tentang  kedudukan mahrom dan apakah ia bisa digantikan oleh teman-teman  serombongan saja ketika bersafar, dan tentang apakah kecanggihan  teknologi dan alat transportasi dapat menjadi alasan pembenaran bagi  seorang perempuan muslimah untuk bersafar-safar ria seorang diri.
Hm,  akupun hanya diam mendengar jawaban polosnya dan berharap semoga  pengakuannya itu bukanlah bagian dari ke-ngeyelan-nya untuk membela diri  karena sepengetahuanku banyak diantara akhowat yang telah mengerti  hukum safar  akan tetapi dia tetap nekad melanggarnya demi sesuatu yang  mereka anggap darurat padahal darurat yang mereka maksud itu hanyalah  darurat berdasarkan nafsu mereka semata, bukan darurat menurut syari’at  yang memang hendak bermaksud memudahkankannya. Wallahu a’lam.
Inilah  kawan, inilah sebabnya mengapa aku berulang-ulang kali menasihati  diriku  sendiri untuk selanjutnya pula aku nasihatkan kepada kalian  semuanya yaitu agar kita senantiasa meng-ilmu-i suatu perkara sebelum  kita berkata-kata tentangnya dan pula sebelum kita mengamalkannya. Hal  ini karena jika kita malah nekat melakukan suatu perkara tersebut   terlebih dahulu baru kemudian kita ‘sedikit’ mempelajarinya maka  seringkali kita hanya akan terjebak ke dalam golongan orang-orang yang  hanya mencari pembenaran semata, bukannya kebenaran yang akan  menyelematkan kita.
Dahulu  aku juga tidak sepenuhnya mengerti tentang perkara-perkara yang  berhubungan dengan safarnya seorang wanita muslimah ini sehingga akupun  sangat sering melanggarnya. Akan tetapi atas petunjuk dari Allah  sekarang akupun berusaha untuk mencari tahu dengan bertanya kepada  beberapa orang ustadz serta dengan membaca beberapa penjelasan dari  beliau-beliau tersebut di dalam blog-blog beliau. Semoga dengan begitu  aku memiliki ilmu yang akan memagari diriku dan segala amalku, insya  Allah. Aamiin. 
Berikut aku ringkaskan sebagian diantaranya untuk kawan-kawanku yang kucinta karena Allah, insya Allah:
Pengertian Safar
Dalam  bahasa Arab, safar berarti menempuh perjalanan. Adapun secara syariat  safar adalah meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh  perjalanan menuju suatu tempat. (Lisanul Arab, 6/277, Asy-Syarhul  Mumti’, 4/490, Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472)
Batasan Safar
Para  ulama berbeda pendapat tentang jarak perjalanan yang telah dianggap  sebagai safar. Al-Imam Ash-Shan’ani menyebutkan ada sekitar 20 pendapat  dalam permasalahan ini sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir.  (Subulus Salam, 3/109)
Sedangkan riwayat yang paling kuat dalam permasalahan ini adalah hadits Anas:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Adalah  Rasulullah apabila beliau keluar sejauh 3 mil atau 3 farsakh beliau  shalat 2 rakaat (yakni mengqashar shalat).” (HR. Muslim, Kitab Shalatul  Musafirin wa Qashruha, Bab Shalatul Musafirin wa Qashruha, no. 1116)
Dalam  riwayat di atas tidak dipastikan apakah Rasulullah mengqashar shalat  pada jarak 3 mil atau 3 farsakh. Sehingga riwayat ini tidak bisa  dijadikan hujjah dalam membatasi jarak safar.
Adapun  larangan Rasulullah terhadap seorang wanita yang safar sejauh  perjalanan 3 hari tanpa mahram, maka tidak ada hujjah dalam hadits  tersebut#. Karena hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa safar tidak  terwujud atau terjadi kecuali dalam jarak perjalanan tiga hari. Hadits  itu hanya menunjukkan larangan bagi seorang wanita untuk safar tanpa  disertai mahram.
Hal  ini ditunjukkan pula dalam riwayat yang lain dari sahabat Abu Sa’id  dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim. Di dalamnya  terdapat lafadz يَوْمَيْنِ (dua hari):
لاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلاَّ وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama dua hari kecuali bersama suami atau mahramnya.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan dengan lafadz يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ (satu hari satu malam):
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا مَحْرَمٍ
“Tidak  halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir  untuk safar sejauh perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram.”  (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu Hurairah)
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa safar tidak dibatasi dengan perjalanan tiga hari.
Ibnu  Qudamah berkata: “Tidak ada dasar yang jelas untuk menentukan batasan  jarak safar. Karena menetapkan batasan jarak safar membutuhkan nash  (dalil) yang datang dari Allah atau Rasul-Nya.”
Sedangkan dalam Al-Qur’an# dan As-Sunnah#, safar disebutkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan batasan tertentu.
Dalam  kaidah fiqhiyah disebutkan: “Sesuatu yang mutlak tetap berada di  atas kemutlakannya sampai datang sesuatu yang memberi batasan atasnya.” 
Ketika  tidak ada pembatasan jarak safar dalam syariat (nash), demikian pula  tidak ada pembatasannya dalam bahasa Arab, maka pembatasan safar kembali  kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Selama masyarakat setempat  menganggap/menyatakan perjalanan tersebut adalah safar, maka perjalanan  itu adalah safar yang disyariatkan untuk mengqashar shalat dan berbuka  puasa di dalamnya.
Pendapat  yang paling kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat Ibnu Qudamah dan yang  lainnya, bahwa batasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat  setempat). Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan  muridnya Al-’Allamah Ibnul Qayyim. Demikian pula dikuatkan oleh  Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i  rahimahumullah. (lihat Al-Mughni 2/542-543, Al-Majmu’ 4/150,  Majmu’Al-Fatawa 24/21, Asy-Syarhul Mumti’ 4/497, Al-Jam’u baina  Ash-Shalataini fis Safar hal. 122). Wallahu a’lam.
Sumber: asysyariah.com
Kedudukan mahrom dalam safar bagi wanita muslimah
Adapun  pendapat yang mensyaratkan mahram hanya ketika kondisi tidak aman, ini  adalah pendapat yang lemah, sebab nash haditsnya bersifat umum tanpa  dikaitkan dengan kondisi aman atau tidak aman. Lagi pula, di zaman  dahulu tindak kriminal tidak separah sekarang, pun demikian Nabi tetap  mensyaratkan mahram, nah apalagi pada zaman sekarang bukan??
Selanjutnya,  pendapat yang membolehkan wanita terpercaya sebagai pengganti laki-laki  mahrom adalah pendapat yang juga lemah. Hal ini karena sejak dahulu  yang namanya safar biasa dilakukan secara berkafilah, artinya secara  berombongan. Pun demikian, Nabi tetap mensyaratkan adanya laki-laki  mahrom.
Dalam  hal ini ada sebuah kaidah ushul fiqih yang diucapkan oleh Imam syafi’i,  yang maknanya ialah “Bila ada dalil yang tidak merinci suatu keadaan,  padahal keadaan tersebut memiliki beberapa kemungkinan berarti dalil  tersebut berlaku umum dalam setiap keadaan yang mungkin terjadi  menyertainya.”
Contoh:  Suatu safar bisa saja dilakukan secara sendirian, atau bersama  rombongan wanita yang terpercaya, atau bersama rombongan wanita yang  sebagiannya disertai suami mereka dan sebagian lagi tidak (ini dari sisi  jumlah musafir). Sedangkan dari sisi keamanan bisa saja safar tersebut  terjadi pada saat kondisi aman atau malah pada saat kondisi tidak aman.  Pun demikian, ketika ditanya tentang safarnya wanita Nabi tidak  menanyakan atau merinci pertanyaan tersebut padahal boleh jadi si wanita  tadi safar dalam kondisi aman, atau disertai rombongan wanita, atau  kemungkinan-kemungkinan lain yang saya sebutkan tadi. Nah, dengan tidak  bertanya dan merincinya Rasulullah ini menunjukkan bahwa jawaban beliau  yang berbunyi “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah  dan hari akhir untuk safar sejarak sehari semalam kecuali disertai  mahram lelakinya” adalah berlaku umum dalam setiap kondisi. Wallahu  a’lam.
Sumber : Jawaban dari seorang ustadz di blog beliau ketika menjawab pertanyaan seorang muslimah yang bertanya kepada beliau. basweidan.wordpress.com 
Kemajuan tekhnologi dan alat transportasi apakah bisa menggugurkan adanya mahram bagi wanita muslimah ketika ia hendak bersafar?
Ada  sebagian orang yang mengatakan bahwasanya larangan wanita safar tanpa  mahram adalah apabila menggunakan angkutan zaman dulu, seperti onta,  kuda, atau lainnya, yang mana wanita akan mengalami kesukaran karenanya,  kesusahan dan menghabiskan waktu yang lama Adapun wanita yang bersafar  menggunakan angkutan zaman sekarang, baik angkutan udara, darat atau  laut, maka tidak termasuk keumuman hadits yang melarang wanita safar  tanpa mahram. 
Kami  katakan untuk menjawab terhadap syubhat ini, yaitu: bahwa syariat dan  agama kita sesuai untuk setiap zaman dan tempat- Alhamdulillah-. Maka  sebagaimana syariat dan agama kita sesuai untuk zaman onta dan pedang,  sesuai pula untuk zaman pesawat terbang, roket dan atom. Seandainya  agama ini hanya sesuai pada satu zaman saja, seperti agama-agama  terdahulu, pastilah Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus seorang  nabi lagi setelah nabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam padahal pastilah  Rabb kita tidak akan melakukan hal tersebut, karena Dia telah  berfirman:
مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
"Muhammad  itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu,  tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi". [Al-Ahzab: 40]
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي
"Aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi setelahku". (HR. Muslim 1920, Abu Dawud 4252, Tirmidzi 2203]
Selanjutnya,  Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjuki umatnya kepada  setiap kebaikan dan melarang mereka dari setiap keburukan serta  mengabarkan kepada mereka berbagai cobaan dan bencana-bencana yang akan  terjadi sampai hari kiamat. Seandainya syari’at, perintah dan larangan  beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berlaku hanya berlaku untuk satu  zaman, maka pastilah beliau sudah menjelaskannya.
وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا
"Tidaklah Rabbmu lupa". [Maryam: 64]
***
Begitulah   kiranya penjelasan dari para ustadz dan ulama ahlus sunnah mengenai  perkara urgent bagi perempuan-perempuan muslimah yang masih memiliki  keimanan nan kuat bahwasanya setiap perintah dan larangan Allah ta’ala  adalah yang terbaik untuk dunia dan akhiratnya, insya Allah.
Ah,  untuk lebih membuat engkau faham mengenai perkara safar ini agar  kedepannya engkau tidak lagi bermudah-mudah saja ketika bersafar-safar  ria tanpa mahrom, maka berikut aku sertakan pula jawaban seorang ustadz  ketika beliau ditanya mengenai, “Apakah  diperbolehkan seorang wanita melakukan safar keluar kota dengan memakai  motor atau mobil untuk tujuan menuntut ilmu tanpa disertai mahrom?”
Karena  sejatinya jawaban dari ustadz tersebut berupa audio (yang menurutku  adalah bagian dari sesi Tanya Jawab dalam sebuah ta’lim) yaitu jawaban  dari Ustadz Abdullah Zaen, dan jikalah memang kawan sekalian ternyata  juga tidak ada waktu untuk mendengarkan audio berdurasi satu setengah  menit tersebut maka disini aku telah menuliskan jawaban tersebut untuk  kawan, insya Allah.
Perlu  dicatat bahwa yang kutulisankan di bawah ini telah sedikit akuedit   karena jika aku tuliskan tok seperti kata-kata ustadz yang menyampaikan  maka hasilnya kurang bagus ketika dibaca. Semoga kawan maklum jika  antara bahasa lisan dan tulisan itu kadangkala akan sedikit berbeda  karena dalam bahasa tulisan kita dituntut untuk memperhatikan ini dan  itu dalam hal penulisannya. Wallahu a’lam.
Pertanyaan:
Apakah  diperbolehkan seorang wanita melakukan safar keluar kota dengan memakai  motor atau mobil untuk tujuan menuntut ilmu tanpa disertai mahrom?
Jawaban:
Nabi bersabda,
لاَ  يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ  تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
"Tidak  halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari  akhir safar sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram (yang  menyertainya)". [Hadist Shahih Riwayat Imam Bukhari (Fathul Baari  II/566), Muslim (hal. 487) dan Ahmad II/437; 445; 493; dan 506]
Nah,  dalam hal ini kita tanyakan apakah safar ke luar kota yang dilakukan  oleh perempuan tersebut termasuk kedalam kategori safar atau tidak? Jika  berdasarkan kebiasaan adat istiadat masyarakat setempat atau  berdasarkan ‘urf  perjalanan itu termasuk safar maka tidak boleh.  (Contoh: masyarakat Jabotabek terbiasa menjadikan perjalanannya sebagai  perjalanan biasa yang bukan tergolong safar walaupun jaraknya cukup  lumayan. Hal ini karena memang secara ‘urf masyarakat di sana menganggap  itu bukan safar, maka jadilah hukum safar tidak berlaku padanya.  Wallahu a’lam. editor)
Adapun  jika safarnya si perempuan tersebut masih di dalam kota maka kami  pernah bertanya langsung kepada Syaikh Ibrahim Bin Amir Ar Ruhaili,  bahwasanya apabila safar di dalam kota tersebut memang tidak akan  menimbulkan bahaya, seperti tidak akan disakiti dan tidak akan diganggu  kehormatannya oleh laki-laki maka hal itu diperbolehkan. Akan tetapi,  jika sebaliknya maka hal itu tetap dilarang.
Dalam  hal ini, insya Allah masih banyak kaset rekaman yang bisa didengarkan  oleh seorang perempuan muslimah yang ingin menuntut ilmu dan pula masih  banyak kitab-kitab yang bisa dibacainya sehingga sebaiknya mereka tetap  menuntut ilmu di dalam rumah-rumah mereka sendiri daripada melakukan  safar tanpa mahram tersebut.
Sumber: muslim.or.id 
*** 
Renungilah olehmu kawan, jika untuk kepentingan menuntut ilmu syar’i yang notabenenya adalah wajib bagi setiap muslim itu saja seorang muslimah tetap disarankan untuk menuntut ilmu dengan mendengarkan kaset-kaset rekaman dan membaca kitab-kitab yang ada daripada melakukan safar tanpa mahrom maka apalah lagi jika hanya untuk kepentingan pekerjaan dunia yang ujung-ujungnya adalah masalah rizki semata??
Renungilah olehmu kawan, jika untuk kepentingan menuntut ilmu syar’i yang notabenenya adalah wajib bagi setiap muslim itu saja seorang muslimah tetap disarankan untuk menuntut ilmu dengan mendengarkan kaset-kaset rekaman dan membaca kitab-kitab yang ada daripada melakukan safar tanpa mahrom maka apalah lagi jika hanya untuk kepentingan pekerjaan dunia yang ujung-ujungnya adalah masalah rizki semata??
Lagipula  bukankah salah satu syarat seorang perempuan muslimah jika hendak  bekerja di luar rumah adalah hendaklah ia memilih pekerjaan yang tidak  bertentangan dengan hukum-hukum syari’at sementara perkara tentang safar  tanpa mahrom bagi seorang muslimah ini adalah perkara yang sangat  besar, bukan perkara yang sepele saja??
Yakinlah  engkau wahai saudari-saudariku bahwasanya Allah Maha Kaya dan telah  mengatur kadar rizki kita masing-masing dengan sangat bijaksana sehingga  selama kita bersedia menolong agamaNya maka kita tidak akan pernah  disia-siakanNya, insya Allah. Jikalah gajah di hutan sana saja bisa  sebegitu besar-besarnya karena rizki Allah maka apalah lagi dengan kita  manusia-manusia ini, insya Allah Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan  kita.
Wahai  ukhty muslimah, tetaplah berpayah-payah menjadi perempuan-perempuan  penggenggam bara api sejati daripada menjadi perempuan-perempuan yang  dengan senang hati membakari dirinya sendiri dengan api karena  perjalanan yang dilakukannya telah tidak halal lagi, sebab hukum safar  itu telah dilanggari.
Jikapun  engkau karena suatu dan beberapa keadaan tetap harus melakukan safar  tak apalah engkau merogoh kocek lebih dalam agar mahrammu dapat mengikut  serta bersamamu. Jika memang engkau benar-benar telah tidak mempunyai  mahram yang bisa menemanimu maka bersegeralah mencari suami yang bisa  melindungimu. (Nan terakhir semoga nyambung, he he).
***
02 September 2011
Bumi Allah,
Goresan Kami
***
Terkhusus  untuk perempuan-perempuan yang tengah tertidur dan belum tersadarkan  akan kesempurnaan Islam yang menjunjung tinggi dan memuliakan kaum kita  dengan penjagaan oleh “bodyguard syar’i” dari kalangan laki-laki yang  halal menemani. Ayo segera bangun dari tidur kita, dan mari segera kita  sadarkan jiwa-jiwa dan pikiran kita setelahnya.
Peace  untuk beberapa oknum yang merasa aku tampar dengan artikel ini.  Percayalah, aku adalah salah seorang saudari kalian nan sangat  menginginkan kebaikan untuk diri-diri kalian sebagaimana aku  menginginkan kebaikan untuk diriku sendiri karena Allah, insya Allah.




0 komentar:
Post a Comment