Ya Allah, Pingit Sajalah Aku

Tuesday, August 23, 2011

Bismillah…

Oke, seperti pada tulisan-tulisanku sebelumnya yang disana aku sering bercuap-cuap bahwasanya aku adalah seorang akhwat yang karena beberapa kondisi tertentu harus bekerja diluar rumah. Yah, pekerjaanku ini adalah  di bagian lapangan sehingga aku harus sering berkunjung ke beberapa daerah. Salah satu alasan yang akan aku sebutkan disini tentang mengapa aku harus bekerja di luar rumah adalah karena aku telah terlanjur menandatangani kontrak pendidikan beasiswa penuh dengan sebuah lembaga tiga tahun yang lalu, dimana salah satu syaratnya adalah aku harus mengabdi di daerah asalku selama sekian tahun setelah masa pendidikan selesai. Jika kontrak ini aku langgar maka konsekuensinya adalah aku harus mengembalikan sejumlah rupiah yang telah dikeluarkan oleh lembaga yang memberiku beasiswa tersebut selama aku dikuliahkan!!

Ini memang takdir Allah atasku yang aku syukuri dengan kesyukuran yang teramat sangat karena selama aku ‘dikuliahkan’ diperantauan itulah aku bertemu dengan teman-teman yang selalu mengingatkanku dikala aku sedang terlupa dan membangunkanku di saat aku tengah tertidur, teman-teman yang selalu menasihatiku dalam keta’atan dan kebaikan, serta teman-teman yang selalu mengikutkan namaku dalam setiap do’a mereka, yang merengek-rengek kepada Allah agar segala urusanku dimudahkanNya. Begitulah kawan, adakalanya berbagai kemudahan dan kelapangan yang kita rasakan bersumber dari dikabulkannya do’a orang-orang yang ikhlas mendo’akan dan mencintai kita karenaNya. Di atas semua itu, pada masa-masa itulah Allah membimbingku dan teman-temanku untuk menempuh manhaj salaf yang mulia ini, dan semoga Allah pula istiqomahkan dan tegarkan kami mengahadapi segala rintangannya, aamiin.

Sekarang masa kuliah itu telah usai dan aku harus melaksanakan kewajibanku untuk ‘mengabdi’ di daerahku, kewajibanku untuk menta’ati ‘akad yang telah aku setujui dan aku tanda tangani di atas materai enam ribu itu, yang pada saat menandatanganinya aku masih dilingkupi aneka syubhat dan kebodohan akan agamaku sehingga aku tidak bisa berfikir panjang tentang apa-apa manfa’at dan mudharat yang akan aku dapatkan karenanya. Dan, inilah pekerjaanku sekarang. Pekerjaan yang penuh dilema dan sangat menyesakkan dadaku. Pekerjaan yang menghadapkanku pada berbagai ujian dan godaan agar aku membuang bara api yang ada digenggamanku dan melepaskan sunnah yang dengan bersusah payah aku gigit dengan gigi gerahamku.

Ujian pertama dari pekerjaanku adalah ujian untuk mempertahankan pakaian ninjaku. Banyak sekali pandangan sinis yang aku dapatkan plus suara berbisik-bisik dari bapak-bapak dan ibu-ibu yang bekerja di sana melihat penampilanku. Mereka komplen ke pembimbingku tapi pembimbingku tersebut malah minta tolong disampaikan kepadaku oleh teman sejawatku. Komplen yang masuk adalah agar aku tidak memakai gamis lagi ke kantor dan memperkecil ukuran jilbabku karena mereka khawatir kantorku dibilang ada apa-apanya oleh orang-orang apabila aku  berpakaian ‘ekstrim’ begitu. 

Dalam fikiranku mungkin ‘ada apa-apa’ yang beliau-beliau maksud itu adalah isu jangan-jangan orang yang berjilbab besar sepertiku adalah seorang teroris atau seorang penyebar aliran sesat karena memang pada saat aku mulai ‘ngantor’  di tanah air sedang marak dan hebohnya kedua isu tersebut. Bahkan, ada seorang bapak yang berseloroh padaku, “Bapak sangka tadi kamu adalah teroris yang akan menghancur-leburkan kantor ini, ha ha.” Padahal, aku tidak memakai cadar lho, dan kalaupun aku memakai cadar bukankah itu bagian dari syariat, terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang hukum memakainya? Betapa kebodohan dan syubhat telah sebegitunya melanda umat pada zaman ini, jangankan orang-orang kampung, orang-orang kantoran seperti beliau-beliau saja yang notabenenya adalah orang-orang berpendidikan bisa berfikiran seperti itu tentang agamanya sendiri!!

Untuk gamis, sebenarnya aku sih oke-oke saja jika harus memakai rok dan baju yang berpotongan tapi masalahnya bajuku yang seperti itu sedang dalam proses peng-usaha-an untuk memperolehnya. Kalau untuk ukuran jilbab maka sorry-sorry saja, aku tidak mau memperkecil ukuran jilbabku karena dengan ukuran inilah aku baru merasa aman dan nyaman ketika harus berhadapan atau sekedar lewat di depan laki-laki. Apalagi aku adalah seorang pekerja lapangan yang tentu saja akan lebih sering berhadapan dengan para laki-laki tersebut, sehingga secara logika saja tentu aku lebih perlu lagi merapatkan hijabku, bukan malah melonggarkannya!!

Aku telah persiapkan mentalku. Jika nanti kepala bidang dan kepala kantor menegurku maka aku telah punya senjata, yaitu toh di daerahku ada Perda Bupati agar semua perempuan mulai dari pegawai kantor, guru dan murid perempuan harus memakai jilbab ketika ‘bekerja’[i] dan jilbab yang dimaksud tentu jilbab dalam aturan Islam (jilbab syar’i). Nah, kalau  jilbab syar’i menurut ilmu dan pemahamanku seperti ini tentu aku tidak salah juga donk??

Ujung-ujungnya, jika beliau-beliau tetap mendesakku maka senjata terakhirku adalah, “Silakan saja pecat aku, asalkan bapak-bapak dan ibu-ibu  bersedia mengganti biaya pendidikanku kepada lembaga yang menempatkan aku disini sebagai denda jika aku menyelisihi kontrak kerjaku.” Aku sudah nekad saja, toh kalau aku dipecat dan ijazahku tidak dikembalikan bagiku sudah tidak menjadi masalah. Rizki adalah urusan Allah, dengan atau tanpa ijazah asalkan aku tetap berusaha maka Allah akan menjadi saksinya. Yah, meski jika tanpa ijazah pekerjaan yang akan aku dapatkan ‘mungkin’ adalah pekerjaan ‘biasa-biasa’ saja maka it’s ok daripada aku harus mengorbankan prinsip islamku!

Alhamdulillah, sampai saat ini—setelah delapan bulan bekerja di kantor itu kepala bidang dan kepala kantor tak kunjung jua memanggil dan menegurku. Mungkin mereka melihat dengan pakaian ninja yang menurut sebagian orang mungkin akan membuatku lelet dan tidak professional tapi hasil kerjaku dapat aku pertanggungjawabkan dengan baik seperti halnya teman-teman rekan kerjaku yang lain. Alhamdulillah.

Ujian kedua, tidak dapat dipungkiri kalau memang dikebanyakan kantor (jika tidak bisa dikatakan semuanya) bercampur-baur saja antara pegawai laki-laki dengan pegawai perempuannya. Aku sungguh tersiksa dengan perkara ini karena kadang kala aku melihat pemandangan yang cukup mengerikan yang bagi sebagian orang mungkin pemandangan itu adalah pemandangan yang biasa-biasa saja. Aku melihat, jangankan pegawai-pegawai yang masih muda dan pula lajang, pegawai-pegawai yang sudah tua-tua saja dengan sangat santai bercanda ‘tidak senonoh’ sembari entah membicarakan apa dengan rekan kerja lawan jenisnya sambil cekakak-cekikik pula.

Yah, sampai saat ini aku berusaha menjaga prasangkaku kalau apa-apa yang mereka perbincangkan adalah perkara-perkara kantor semata.  Namun, tidak merasa bersalahkan sang suami yang asyik ber ha ha hi hi dengan rekan kerja perempuannya itu sementara di rumahnya si istri sedang dililit pekerjaan yang tidak berkesudahan antara dapur, sumur dan beres-beres rumah serta tempat tidurnya?! Belum lagi merawat dan mendidik anak-anaknya?! Kemudian, tak ada rasa malukah sang perempuan yang juga meladeni pembicaraan kosong rekan kerja laki-lakinya sementara dibagian bumi Allah lainnya mungkin saja suaminya sedang bersimbah keringat mencari nafkah untuknya?? Entahlah, aku benar-benar tidak mengerti!!

Kadang dalam kondisi-kondisi tertentu aku pula terjebak dalam keadaan yang sangat membuatku gemetaran. Yah, dalam sebuah kantor tentu diperlukan jalinan komunikasi yang baik dan lancar antar sesama pegawainya. Nah, dalam hal ini kadang aku harus ‘mendiskusikan’ pekerjaanku dengan rekan kerja laki-laki karena mau tidak mau aku harus bertanya kepadanya yang memang lebih kapabel dalam urusan pekerjaan yang aku tangani. Huft, kadang ketika aku berdiskusi tersebut terbayang olehku kalau aku sedang melihat suamiku (kelak) pula tengah berlama-lama ‘berdiskusi’ dengan rekan kerja perempuannya sehingga entah mengapa hatiku langsung dibakar cemburu dan akupun langsung mengakhiri diskusi itu dan kabur ke bagian kantor lainnya.

Ujian ketiga, karena pekerjaanku lebih dominan di lapangan maka ketika sedang ngantor aku tidak mempunyai begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Telah pula aku bertanya kepada beberapa ustadz bagaimana kalau aku pulang saja sebelum jam pulang karena memang aku tidak ada pekerjaan lagi dikantor? Ustadz-ustadz itu menjawab ‘tidak boleh’ kecuali memang aku mempunyai ‘akad tentang bolehnya pulang jika telah tidak ada kerjaan. Saran ustadz, agar aku memanfaatkan waktu kosong itu kepada hal-hal yang bermanfaat seperti membaca dan lain sebagainya. Namun, di tengah suasana dan pemandangan seperti itu aktivitas membaca menjadi sangat membosankan, deretan huruf dan susunan kalimat terlihat telah menyatu saja antara satu dan lainnya. Mau menggunakan fasilitas internat kantor untuk melihat blog-blog ustadz dan lainnya aku juga tidak punya nyali karena sepengetahuanku hal itu tidak diperbolehkan.

Ujian ke-empat. Jika kelapangan, kebanyakan perjalanan menuju ‘lapangan’ tersebut mencapai  jarak safar sehingga aku harus menyesuaikan jadwadku dengan adik-adikku, yaitu ketika mereka telah pulang sekolah atau ketika adikku yang lainnya sedang tidak bekerja. Aku tidak berani kesana dan kemari sendirian lagi seperti ketika awal-awal aku kuliah dan belum mengenal manhaj yang mulia ini dahulu.

Di lapangan jangan pula kawan tanya tentang seberapa makan hatinya aku menghadapi masyarakat yang kebanyakan pola fikirnya masih sangat ‘tradisional’ dan hal ini sepertinya tidak perlu kubukakan disini agar aku tidak terlalu berpanjang-panjang kata. Lagipula untuk yang satu ini tentu merupakan risiko pekerjaan orang-orang lapangan sepertiku.

Namun, ini adalah pengalamanku kemarin siang ketika hendak melaksanakan tugas di suatu daerah yang berjarak sekitar 40 km dari rumahku. Aku nekad pergi sendiri karena aku merasa bersalah jika aku tidak melaksanakan amanah pekerjaan yang diembankan kepadaku sementara setiap bulan aku tetap mengambil gaji. Tentu aku tidak mau memakan gaji buta saja sementara gaji tersebut akan aku gunakan untuk biaya makanku dan adik-adikku serta untuk membiayai sekolah adik-adikku di pondok. Aku takut do’a-do’aku tidak akan dikabulkan Allah lantaran makanan haram yang masuk kedalam perutku. Aku pula sangat takut jika ilmu adik-adikku tidak berkah karena uang sekolah mereka adalah uang yang tidak halal.

Jalan menuju daerah yang akan aku kunjungi itu cukup sempit dan di bagian kanannya adalah jurang plus sepangjang jalan suasananya cukup sepi karena jarang sekali rumah penduduk di sana. Ketika itu, ketika hendak belok kanan pada jalan yang menanjak dan pula miring aku kehilangan keseimbangan sehingga aku terjatuh. Alhamdulillah aku tidak apa-apa, tapi aku jadi termenung sendiri, bagaimana kalau pada kejadian itu ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi padaku sementara di sana sangat lengang dan tidak ada sinyal hp pula! Setidak-tidaknya bagaimana kalau ban motorku bocor di sana, kemana hendak kubawa motorku itu dan bagaimana pula  hendak kuhubungi keluargaku agar mereka datang untuk menjemputku? Parahnya lagi, bagaimana kalau ada orang-orang jahat yang hendak menggangguku? Siapa yang akan mendengar teriakanku??

Astagfirullah, aku jadi jera pergi ke daerah itu sendiri. Meski  tidak mencapai jarak safar akan tetapi aku tidak aman dari mara bahaya selama perjalanan ke sana. Dan akupun menjadi serba salah dengan pekerjaanku ini. Adakah di antara kawan sekalian yang bisa memberiku solusi?

Astagfirullah, mungkin memang sejudul tulisanku kali ini berisi keluhan-keluhanku saja mengenai pekerjaanku. Apakah teman-temanku yang mengalami keserupaan nasib denganku juga merasakan hal yang sama? Atau, jangan-jangan hal ini adalah keluhan-keluhan yang keluar dari lisan-lisan yang suka berkeluh kesah sepertiku saja?? Entahlah.

Meski begitu, sebenarnya ada sebuah kesimpulan yang ingin aku sampaikan kepadamu wahai perempuan-perempuan muslimah nan shalihah, cerdas lagi cendikia, insya Allah bahwasanya sebaik-baik dan satu-satunya tempat bagi perempuan untuk menciptakan sebuah mahakarya dan menunjukkan semua eksistensinya adalah di dalam rumah-rumahnya saja seperti yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya.

Di dalam rumahnyalah seorang perempuan bisa menghasilkan mahakarya teragung dan akan melambungkan harga dirinya di hadapan penduduk langit yaitu melahirkan, merawat dan mendidik anak-anaknya sehingga menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah, anak-anak yang akan memeberi bobot kepada bumi Allah ini dengan kalimat laa illaa ha illallaah. Di dalam rumahnya jualah seorang perempuan dapat menunujukkan eksistensinya sebagai seorang perempuan shalihah yang pantas menjadi perhiasan dunia terindah dan mendapatkan sanjungan dari Allah yang Maha Indah.

Cita-citaku yang dahulu kubuang sudah, yaitu cita-citaku ketika aku masih  sekolah di SMA. Dahulu aku sangat ingin menjadi wanita karir yang bekerja di kantoran. Namun, sekarang aku hanya ingin kembali kepada kodratku untuk menjadi gadis pingitan saja. Aku ikhlas dipingit di dalam rumahku demi keselamatan diriku dan terjaganya kehormatanku. Toh jika aku ingin mempunyai penghasilan tambahan maka masih ada pekerjaan-pekerjaan rumahan yang bisa menghasilkan uang seperti menjahit, catering dan lain sebagainya yang bisa aku usahakan. Oleh sebab itu, do’akanlah aku wahai kawan semuanya agar aku bisa meluruskan niatku sehingga setelah masa kontrak kerja berakhir aku bisa menemukan peluang bisnis ‘rumahan’ yang diberkahi Allah, insya Allah. Aamiin.

***

24 Ramadhan 1432H
24 Agustus 2011M

Bumi Allah,
Goresan Kami

***

Untuk semua teman yang senasib denganku, marilah kita meluruskan niat untuk menjadi wanita shalihah yang merupakan perhiasan dunia terindah sehingga tidak untuk eksistensi di dunia kita mengorbankan  harga diri kita sebagai sekuntum bunga yang terpelihara.




[i] Yah, Perda ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya tapi aku selalu berharap semoga Allah memudahkan perkara ini. Karena Perda wajib berjilbab ini hanya ketika ‘bekerja’ saja sehingga banyak kutemui dari kalangan pelajar SMP dan SMU yang tentunya mereka telah baligh hanya berjilbab di dalam pekarangan sekolah mereka saja sementara ketika bel pulang berbunyi dan mereka mulai keluar dari pekarangan sekolah tersebut maka mulai pulalah mereka melepaskan jilbab-jilbab mereka dan kembali kepada keadaan mereka yang semula.

2 komentar:

Anonymous,  November 12, 2013 at 7:03 PM  

Ya ampun, terus ngapain kamu susah payah kuliah dapat beasiswa kalo cuma mau dipingit? jadi wanita itu harus mandiri doung, jangan cuman ngendon di rumah, muamallah kalian sangat buruk!

Goresan Kami May 1, 2014 at 2:46 PM  

Allah Maha Mengetahui Yang Terbaik bagi setiap hambanya ^_^

Post a Comment

Silahkan tuliskan komentar Anda dengan tetap menjaga sopan santun berbahasa..

With Love ^^

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP