Akhiy, Ini Aku Dan Segeralah Engkau Pinang Aku (Surat Terbuka Pertama Dari Dua Surat Untuk Para Akhiy)

Sunday, September 4, 2011


Bismillah…

Bumi Allah, 03 September 2011
Pukul 22.50 WIB

Terkhusus untukmu wahai akhiy yang senantiasa aku damba,
Di bagian bumi Allah manapun engkau berada.

Assalamu’alaykum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Akhiy, semoga engkau dalam perlindungan dan penjagaan Allah selalu. 

Akhiy, ini aku. Aku adalah seorang ukhty muslimah nan senantiasa menunggumu di depan pintu hati dan pula di depan pintu rumahku, insya Allah.

Akhiy, izinkan aku menulisi surat ini untukmu, ya untukmu akhiy. Sebenarnya aku telah pertimbangkan masak-masak akan akibat dari suratku untukmu ini. Aku pula telah fikirkan tentang manfaat dan mudlarat yang akan ditimbulkannya sehingga setelah itu barulah aku memutuskan untuk tetap jua mengirimnya kepadamu ya akhiy.

Terserahlah akhiy, mungkin karena sebab ini engkau akan menilaiku sebagai ukhty yang terlalu berani kepadamu. Atau mungkin pula engkau akan menganggapku sebagai ukhty yang tengah mengumbar diriku karena  mencoba untuk keluar dari persembunyianku. Tidak, akhiy. Tidak begitu. Insya Allah aku tetap akan menjadi seorang gadis pingitan di dalam bilikku, di dalam rumahku nan syahdu. Aku hanya mencoba menggoreskan penaku di atas kertas ini agar engkau bisa mengerti diriku, agar engkau bisa memahami maksud hatiku, dan agar engkau pula bisa menyelami apa mauku, insya Allah.

Akhiy, aku ini adalah seorang gadis yang pemalu, insya Allah. Sungguh aku sangat malu kepadamu ya akhiy sehingga aku hanya mampu bersembunyi di balik penaku. Jangankan untuk berkata-kata kepadamu secara langsung dengan lisanku, mendengar namamu disebut oleh orang-orang disekelilingku saja aku telah teramat sangat malu dibuatnya, bahkan sampai memerah pula pipiku karenanya. Sungguh, sungguh begitu adanya ya akhiy.

Akan tetapi ya akhiy, entah kenapa akhir-akhir ini fikiranku selalu terpaut kepadamu. Entah kenapa akhir-akhir ini dadaku cukup menyesak pada karena ulahmu. Dan entah mengapa pula akhir-akhir ini aku selalu mendamba hadirmu di sini, disisiku ya akhiy. Benar, benar begitu. Aku hanya memcoba untuk jujur kepadamu akhiy, insya Allah.

Akhiy, akupun tahu, insya Allah tentang keadaanmu saat ini meski engkau jauh dariku dan meski wajahmu tidak pernah terbayang olehku. Dan jika engkau tidak keberatan maka akan aku serayakan juga penaku ini untuk menuliskan apa-apa yang aku ketahui tentang dirimu itu. Bolehkah akhiy? Kau izinkan kah akhiy?

Akhiy, akupun tahu kalau fikiranmu juga selalu terpaut kepadaku. Aku tahu kalau hatimu juga sesak setiap kali membayangkan diriku. Aku juga tahu akhiy kalau engkaupun juga sangat ingin agar aku sekarang berada disisimu kan akhiy?

Janganlah engkau heran dan kemudian bertanya tentang darimana dan bagaimana aku mengetahui hal itu akhiy. Cukuplah engkau jawab saja beberapa soal yang akan aku ajukan kepadamu setelah ini. Yah, semoga engkau mau jujur kepada hati dan dirimu sendiri dalam menjawabnya. Semoga begitu.

Akhiy, bukankah pembicaraan yang paling membuat hatimu merasa berdebar-debar ketika sedang berkumpul dengan teman-temanmu adalah pembicaraan tentangku akhiy?  Bukankah orang yang paling membuatmu gugup apabila sesekali kita berpas-pasan jalan ketika akan pergi atau sepulang ta’lim adalah aku akhiy? Bukankah sosok yang paling membuatmu penasaran adalah sosok dibalik jilbab dan cadarku ini akhiy? Bukankah insan yang bisa membuat matamu tak mampu terpejam adalah aku juga akhiy? Bukankah seseorang yang sering datang ke dalam mimpi-mimpimu pula adalah aku akhiy? Bukankah aku akhiy? Bukan begitu?

Namun, mengapa engkau tidak berani mengatakan isi hatimu kepada ayahku akhiy??Mengapa tak kunjung jua engkau ketuk pintu rumahku untuk menemui beliau dan menyampaikan maksud hatimu akhiy?? Mengapa engkau kadangkala hanya berusaha untuk mencuri pandang ke arahku saja akhiy?? Mengapa sekali waktu engkau malah nekad meg-sms-ku akhiy?? Mengapa pula engkau hanya mampu mengintip dinding fesbukku akhiy? Mengapa engkau hanya berani mencuri hatiku diam-diam akhiy?? Mengapa engkau hanya membuatku tersiksa dalam menantimu akhiy?

Akhiy, insya Allah aku adalah gadis yang kuat jikalah engkau tidak goyahkan aku. Aku telah mati-matian menjaga hijabku darimu. Aku telah berusaha menjauh darimu. Aku telah berjuang untuk tidak terlalu memikirkanmu. Akan tetapi sms-sms aneh yang engkau kirim ke hapeku membuat fikiranku tak menentu akhiy.

Awalnya memang aku tak pedulikan segala perhatian yang engkau sampaikan melalui pesan-pesan singkat itu karena aku takut akan ancaman Rabbku, namun engkau selalu biasakan aku dengannya, engkau buat aku kecanduan akan datangnya sehingga di akhir masa aku terjebak jua olehmu akhiy.

Awalnya aku memang tidak bergeming dengan segala ulahmu itu karena aku tak mau mengikuti nasfsuku, akan tetapi kau ulur terus benangmu, kau lancarkan terus seranganmu sehingga akhirnya akupun pun melayang bak layang-layang yang berada dibawah kendalimu saja akhiy.

Mengapa engkau begitu akhiy?? Jika memang engkau belum siap untuk menjagaku mengapa engkau malah mencelakakan aku akhiy? Jika memang engkau tak kuat menanggung fitnahku mengapa sejak awal kau berani bermain api denganku akhiy?

Mengapa engkau begitu akhiy? Mengapa engkau beri aku harapan kemudian engkau putuskan asaku akhiy? Mengapa engkau beri aku rayuan kemudian engkau tak berani mendatangi aku akhiy? Mengapa engkau terbarkan pesonamu kemudian engkau tinggalkan aku dalam tangis dan penyesalanku akhiy?

Mengapa engkau begitu akhiy? Mengapa di saat dengan keberanian yang aku berani-beranikan dan dengan menekan rasa maluku dalam-dalam untuk membalas smsmu dengan sebuah permintaan singkat,  engkau serta merta selalu dan bahkan langsung  menghindar dariku akhiy?? Mengapa tak kunjung jua kau penuhi permintaanku itu akhiy?? Bukankah permintaanku itu adalah permintaan yang sangat sederhana saja akhiy?? Yah, aku hanya meminta agar engkau segera meminang dan menikahiku. Bukan begitu akhiy?

Akhiy, mengapa engkau menolak tantanganku untuk dapat memilikiku secata halal hanya karena menurutmu engkau belum mampu menafkahiku? Sebegitu teganya-kah engkau akhiy karena engkau tidak memberikanku kesempatan untuk menjadi istrimu yang qona’ah dengan pemberian Allah melalui usahamu? Sebegitu burukkah prasangkamu kepadaku sehingga engkau tidak percaya kalau aku insya Allah akan bisa hidup apa-adanya denganmu digubuk reot kita nantinya akhiy?

Aku mengerti kalau menikah dalam pertimbanganmu tidaklah seringan menikah dalam pertimbanganku akhiy. Tentu engkau lebih susah dan berat dalam mengambil keputusan dari pada aku kan akhiy? Aku tahu kalau engkaulah yang harus berpayah-payah  mencarikan mahar untukku. Aku tahu kalau engkaulah yang nanti akan bedarah-darah dalam menafkahiku. Aku tahu kalau engkau khawatir jika sekiranya nanti engkau tidak bisa memberikan makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak untukku dan anak-anak kita kelak kan akhiy? Aku tahu semua kekhawatiranmu ya akhiy, insya Allah aku tahu.

Tapi aku hanya memberitahumu tentang aku ya akhiy. Sesekali aku tidaklah memandangmu dari harta yang engkau miliki. Mau engkau anak konglomerat atau anak konglo-melarat aku tidak peduli. Mau engkau bekerja di perusahaan nan besar atau di sawahan nan lebar aku  juga tidak menyalahi. Bagiku, cukuplah engkau bermental baja lagi mandiri, pekerja keras lagi tidak suka pasang gengsi dan  bertanggung jawab terhadap anak dan istri sehingga dengan demikian engkau tidak akan berleha-leha saja dalam menafkahi kami, engkau akan mempunyai semangat yang tinggi untuk mensejahterakan kami. Pun jika engkau telah berusaha keras begitu akan tetapi engkau tidak jua bisa membahagiakan kami dari segi materi maka aku akan tetap setia kepadamu, aku akan tetap ada disampingmu, aku akan tetap menerima semua kesederhanaan dan kebersahajaanmu dan aku akan tetap menjadi istri yang shalihah sebagai perhiasan dunia terindah bagimu. Insya Allah aku akan begitu.

Aku pula tak memandang anak siapakah engkau ini kiranya ya akhiy. Aku tak melihat dari marga manakah dirimu akhiy. Toh menurutku keimanan dan keta’atan kepada Allah bukanlah harta warisan yang akan engkau peroleh secara turun termurun dari nenek moyangmu nan aduhai itu, bukan?? Sekalipun engkau adalah anak dari seorang ustadz kondang akan tetapi engkau pula tak kalah bejatnya dari premen-preman di perempatan jalan itu maka ketahuilah akhiy, aku sesekali tidak akan melirikmu apalagi akan memilihmu!! Camkan itu olehmu akhiy!!

Rupamu? Oo, aku juga tidak terlalu ambil pusing dengan rupamu ya akhi. Selama engkau tidak terlalu malu-maluin ketika menghadiri pesta sanak saudaraku maka aku akan menerimamu. Selama engkau masih peduli dengan kebersihanmu dan kebersihan barang-barang di sekitarmu insya Allah aku akan mengerti. Asal, jangan sampai kemalangan ganda menimpaku ya akhi, yaitu sudahlah rupamu terlalu ‘biasa-biasa saja’ penampilanmu juga ‘terlalu apa-adanya’ karena saking hematnya engkau terhadap air untuk mandi. Kalau begini, aku tidak mau akhiy!!

Akhiy, kemudian catatlah poin ini baik-baik olehmu karena ini adalah poin yang tidak bisa kau tawar-tawar lagi, yaitu komitmenmu kepada agamamu sendiri. Akhiy, aku juga tidak muluk-muluk dan berharap kalau engkau harus dari kalangan ustadz karena aku cukup tahu akan kadar diriku sendiri. Aku hanya mau agar engkau adalah seseorang dari kalangan penuntut ilmu yang gigih dalam mencari dan mengamalkan ilmumu itu. Aku hanya mau melihat pembuktian dari komitmenmu terhadap perintah Allah dan RasulNya. Aku hanya mau melihat jejak-jejak sunnah dari dirimu seperti melalui batas ketinggian celanamu dan pula melalui ukuran ketebalan jenggotmu.

Aduhai, sebelum aku lanjutkan ada sedikit uneg-unegku mengenai celana dan jenggotmu itu ya akhiy. Aku sebenarnya juga tidak mau tertipu akan dua hal yang secara zhahir dapat kulihat darimu itu sebagaimana secara zhahir kau pula dapat tertipu dari ukuran panjang kali lebarnya jilbabku, bahkan dari cadarku sekalipun.

Akhiy adakalanya aku melihat sebagian kecil dari kaummu yang hanya menyembunyikan ‘kebejatan’ mereka di balik celana cingkrang dan jenggotnya yang lebat itu seolah-olah mereka hanya ingin menjadikan sunnah Nabi yang mulia sebagai topeng maksiat mereka saja.

Yah, maksiat atas kelancangan mereka untuk mengganggu kenyamanan teman-temanku, atas kenekatan mereka untuk mengobrak-abrik tempat persembunyian teman-temanku, atas keterlaluan diri mereka untuk menggoda hati teman-temanku melalui kata-kata mereka nan sok lembut selalu, serta maksiat atas kekurang-ajaran mereka untuk merendahkan harga diri teman-temanku melalui cara ini dan cara itu. Hm, setidaknya topeng ini juga pernah kau cobakan kepadaku dimana saat aku benar-benar menantangmu engkaupun langsung kelabakan dan mencari alasan ini dan itu pula, bukan? Bukan begitu??

Tapi akhiy, setidaknya terlepas dari semua salah dan khilafmu serta beberapa temanmu itu aku sangat menghargaimu karena engkau berani meninggikan potongan kaki celanamu disaat kebanyakan kaummu tengah berusaha untuk memperpanjangnya. Aku pula sangat menghargaimu karena kegigihanmu dalam memilihara jenggotmu di saat kebanyakan kaummu malah berusaha menjadikan dagunya licin bak kaki meja saja. Semoga salah dan khilafmu itu murni karena memang dahsyatnya ujian yang menimpamu bukan karena lemahnya benteng pertahananmu. Semoga begitu.

Akhiy, cukup nantinya kau buktikan semua komitmenmu dalam mengamalkan sunnah di dalam rumah sederhana kita. Cukup kau buktikan keperkasaanmu dalam memperlurus tulang rusukku yang memang sedikit bengkok dari sononya. Cukup kau buktikan sifat kebapak-anmu dalam mendidik anak-anak kita nan dicinta kelak insya Allah. Dan, cukup pula nantinya kau buktikan berpayah-payah dan berdarah-darahnya dirimu dalam membimbingku dan anak-anakmu menuju surga nan sungguh sangat diinginkan jiwa. Insya Allah, itu semua telah cukup bagiku akhiy.

Akhy, sedari sekarang pula kukabarkan kepadamu bila nanti akhirnya kau putuskan untuk menemui ayahku dan kemudian engkaupun dapat  ber-ijab qobul dengan beliau maka betapapun hidup yang akan kita jalani setelahnya, betapapun prahara yang akan menerjang biduk rumah tangga kita nantinya, hendaklah kita senantiasa bak perahu yang berlayar mengarungi keras atau tenangnya samudera,  dan pintaku kepadamu hanyalah agar senantiasalah pula engkau dayung perahu itu ke arah yang benar sehingga ia dapat berjalan pada rute yang akan membawa kita kepada Keridloan-Nya. Tak masalah bagiku jika perahu yang kau sediakan itu adalah perahu yang dapat melaju cepat, atau lambat, perahu yang mewah atau sederhana, karena aku pula akan senantiasa menjadi pesisirmu yang akan mengingatkanmu pada rute yang akan kita tempuh itu, insya Allah

Akhiy, bukankah banyak engkau lihat tentang betapa banyaknya manusia yang telah tertipu atas keberhasilan yang berhasil mereka raih, namun mereka lupa akan hakekat keridloan  Allah Ta’ala?? Mereka beranggapan ketika mereka memperoleh keberhasilan itu maka mereka telah menjadi orang yang beruntung, padahal sekali-kali tidak, bukankah masuk surganya seorang hamba hanyalah karena Rahmat Allah semata, bukan sekedar karena amalan-amalannya saja?? Bukan begitu akhiy?? Sungguh perkara ini adalah perkara yang acap kali terluput dari kita semua dimana kita hanya berkutat pada perkara yang zhahir saja namun lalai terhadap perkara akhirat kita sebagaimana yang telah Allah ingatkan dalam sebuah ayat dari Al Quran yang mulia (يعلمون ظاهرا من الحياة الدنيا و هم عن الأخرة هم غافلون Ar-Ruum:07).

Akhiy, jika memang Allah takdirkan kita berjodoh dengan menggerakkan hatimu untuk mendatangi pintu rumahku maka kembali ku-ulangi pintaku kepadamu ya akhiy, bersediakah engkau menjadi nahkoda untuk perahuku yang dengannya akan kita arungi bersama-sama samudra kehidupan dunia nan mengenaskan itu untuk menggapai Rahmat Allah yang Maha Tahu?? Bersediakah engkau akhiy??

Akhiy, akhirnya kusimpulkan untukmu bahwa aku hanya akan memilihmu karena bagusnya agamamu, tidak karena banyaknya hartamu, tidak juga karena bagusnya nasabmu, serta tidak pula kerena eloknya rupamu, insya Allah.

Akan tetapi, jikapun ke-empat perkara itu terkumpul semuanya padamu tentu aku juga tidak akan bisa menolakmu sebagai rizki dan karunia Allah yang disegerakanNya atasku, bukan??

Akhiy, itu saja sebenarnya yang aku harapkan darimu, dari kelaki-lakianmu, dari kodrat pemberanimu. Jika memang kau menginginkanku maka sekali lagi aku minta kepadamu agar engkau bersegera mendatangi ayahku, sebab bila engkau terlambat aku tidak akan bisa lagi menunggumu. Akan tetapi jika engkau tidak punya cukup nyali untuk itu maka kuperingatkan kepadamu agar jangalah sekali-kali kau ganggu aku lagi dengan segala ulahmu, termasuk dengan segala aksi tebar pesonamu.

Akhiy, itu saja sebenarnya yang ingin aku sampaikan kepadamu melalui surat pendekku ini. Yah, surat yang terlalu pendek untuk mengungkapkan segala isi hatiku kepadamu. Sebenarnya masih banyak kata yang hendak kutulis dan masih panjang kalimat yang hendak kurangkai akan tetapi biarlah aku cukupkan sampai disini saja agar surat ini tidak terlalu panjang jadinya.

Sekali lagi kukatakan padamu: Akhiy ini aku, aku adalah seorang ukhty muslimah nan senantiasa menunggumu di depan pintu hati dan pula di depan pintu rumahku, insya Allah.

Penantianku selalu untukmu sampai batas waktu yang telah ditetapkan Allah atas diriku, insya Allah.

Assalamu’laykum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Aku,
Ukhty Muslimah

***

03 September 2011

Bumi Allah,
Goresan Kami

***

Untuk semua ukhty muslimah yang masih resah dan pula gundah dalam menanti dia yang dinanti atau dalam mencari dia yang dicari. Insya Allah resah dan gundahmu telah aku tulisi, semoga ada yang mengerti dan semoga pula ada yang mendatangi setelah ini. Aamiin.

He he. Peace!!!

***

Catatan:

Bagi kawan yang berkesempatan membaca tulisan ini maka harap kawan jagakan prasangka baik kawan terlebih dahulu sebelum membaca kelanjutan surat kedua yang berjudul ~Akhiy, Engkau Telah Kutembak Mati~ karena sejatinya surat yang merupakan ‘akibat’ ini muncul karena adanya ‘sebab-sebab’ yang mendatangkan akibat tersebut, bukan? Silakan kawan cari dan kawan bacai kelanjutannya pada catatan yang ada pada grup Goresan Kami. Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan tuliskan komentar Anda dengan tetap menjaga sopan santun berbahasa..

With Love ^^

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP